Ruang Informasi yang Terbelah: Anatomi Lanskap Media Berita Indonesia

2020-12-01 20:30:24 GMT · oleh Ardian Maulana · politik

polarisasi_media.png

Di tengah tren pembelahan ekstrim diskursus politik dewasa ini maka upaya saintifik untuk memahami dinamika sosial dan teknologi yang melatarbelakangi tren tersebut menjadi suatu yang krusial.

Mewabahnya sikap partisan ekstrim dalam berbagai peristiwa politik tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pesat teknologi digital, media social dan media berita daring, yang semakin mempermudah warga dalam memperoleh dan mendiskusikan informasi politik. Di satu sisi, teknologi digital memperbesar peluang individu terpapar oleh informasi dari beragam cara pandang. Namun di sisi lain, mediasi dan personalisasi informasi oleh jejaring social juga berpotensi membatasi paparan hanya pada informasi yang disepakatinya secara politik, memunculkan mispersepsi atas fakta dan peristiwa dan adopsi sikap politik yang semakin ekstrim seiring waktu.

Bias konfirmasi dan paparan selektif merupakan dua aspek penting dalam dinamika konsumsi informasi di media social. Sejumlah studi telah menunjukan secara empiris kecenderungan pengguna media social untuk fokus pada narasi yang spesifik, dan berinteraksi secara intensif dengan mereka yang memiliki preferensi politik sama. Secara natural kecenderungan di level mikro ini akan membelah ruang media social ke dalam komunitas-komunitas pengguna yang homogen secara politik. Di dalam setiap komunitas, yang secara metaforis disebut echo-chamber atau ruang gema, preferensi politik individu terus menerus diperkuat oleh informasi yang searah, meskipun informasi tersebut salah, sementara informasi yang berlawanan diabaikan.

Bagaimana jika ruang gema tersebut muncul bukan hanya di level konsumen informasi, tapi juga di level sumber informasi?

Dalam studi ‘Divided Information Space: Media Polarization on Twitter during 2019 Indonesian Election’, yang kami paparkan di Complex Network 2020: The 9th International Conference on Complex Networks and their Applications (December 1-3, 2020 - Madrid, Spain), kami menemukan fakta empiris bahwa lanskap media berita Indonesia di pemilu 2019 terbelah secara politik, dimana masing-masing komunitas media menjadi ruang gema informasi bagi audiens-nya.

Media dengan tendensi keberpihakan politik yang sama saling terhubung satu sama lain oleh audiens yang beririsan. Terbentuk 2 komunitas media besar, meliputi 500-an media berita berbahasa Indonesia, dengan total audiens sekitar 4 juta-an akun twitter unik. Aktivitas konsumsi informasi pengguna media sosial pun terperangkap dalam komunitas media yang diikutinya. Ketika lanskap sumber informasi terbelah secara politik, pembaca akan cenderung terpapar oleh informasi yang homogen bersumber dari media-media dengan tendensi politik yang sama.

Ada asimetri yang menarik. Paparan informasi pada pembaca pro Joko Widodo relative lebih seragam berasal dari media dengan afiliasi politik yang sama, dibandingkan pembaca pro Prabowo. Hal ini dapat dipahami dengan melihat komposisi media partisan di masing-masing kelompok. Media pro Prabowo didominasi oleh media dengan segmen pembaca spesifik, seperti portal berita Islam dan media berita oposisi. Sebaliknya, mayoritas media arus utama yang diakses oleh semua segmen pembaca cenderung memiliki bias politik pro Joko Widodo. Akibatnya, pembaca dengan afiliasi politik pro Prabowo juga berinteraksi secara intensif dengan sejumlah media pro Joko Widodo, namun tidak sebaliknya.

cross_ideologi_inter.png

Bahwa media arus utama pun memiliki keberpihakan politis adalah sebuah kenyataan empiris. Namun peran penting-nya sebagai jembatan informasi antar echo-chamber politik adalah sesuatu yang perlu digaris bawahi, secara khusus dalam situasi kontestasi politik yang panas dan membelah.

Segregasi politik dalam lanskap sumber informasi merupakan masalah yang serius. Karena demokrasi hanya dapat berfungsi baik pada pemilih yang terpapar beragam informasi dan memahami berbagai pandangan politik yang berbeda. Meskipun bukanlah sebuah panacea atas wabah polarisasi politik ekstrim, interaksi intensif lintas afiliasi politik perlu terus diciptakan.