Krisis Partai Politik: Gejala Global
2016-04-04 11:26:44 GMT · · politik
Perubahan rasio keanggotaan partai politik terhadap jumlah pemilih di 9 negara Eropa. Garis biru tebal adalah nilai rata-ratanya untuk sejumlah pemilu di 9 negara tersebut.
Harus diakui bahwa geliat publik di media sosial beberapa tahun belakangan telah berhasil memunculkan arus baru dalam perpolitikan Indonesia. Media sosial menjadi semacam kanal aspirasi alternatif di luar institusi konvensional demokrasi yang ada. Hal ini tentu sangat positif bagi perkembangan demokrasi. Tapi ia bisa menjadi mimpi buruk bagi partai politik sebagai otoritas demokrasi konvensional.
Kenyataannya bahwa ini adalah fenomena global. Berbagai aktivitas “non-mediated politics” oleh masyarakat sipil muncul di mana-mana. Beberapa diantaranya membesar dan menjadi perhatian dunia seperti Occupy Wall Street, Arab Spring, Indignados di Spanyol. Lebih lanjut dapat lihat artikel Menguji Ketangguhan Gerakan Maya “Anti-Jokowi”.
Partai politik mulai kehilangan otoritasnya sebagai mediator aspirasi politik warga ke negara. Partai politik sejatinya memiliki dua kaki, yaitu anggota dan organisasi sayap. Masalahnya kedua kaki tersebut semakin keropos saat ini.
Kaki pertama adalah anggota partai. Dalam 40 tahun terakhir, jumlah anggota parta politik mengalami penurunan. Hal ini juga terjadi di negara yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat. Partai politik di Inggris dan Perancis, misalnya, telah kehilangan 1-1.5 juta anggota anggota dalam 3 dekade terakhir. Memasuki abad ke 21, rata-rata rasio keanggotaan partai terhadap jumlah pemilih di seluruh Eropa hanya berkisar 5%. Menurun jauh dibandingkan rasio keanggotaan di tahun 60-an yang mencapai 15% dari populasi pemilih.
Kaki kedua adalah organisasi sayap. Serikat buruh dan organisasi keagamaan menjadi sayap tradisional partai di masa keemasan partai politik di Eropa. Saat ini keanggotaan pada kedua tipe organsiasi sosial tersebut menunjukan tren penurunan yang sama dengan keanggotaan partai politik. Gambar berikut menujukan mayoritas negara di Eropa saat ini memiliki trade union density yang lebih rendah dibandingkan 40 tahun sebelumnya.
Nilai pengurangan density trade union (proksi untuk mengukur tingkat keanggotaan dalam serikat buruh) tahun 2009/2010 terhadap tahun 1970. Nilai negatif menunjukan density trade union saat ini lebih rendah dari 40 tahun sebelumnya.
Keanggotaan partai dan organisasi sayapnya menjadi ukuran kekuatan partai politik. Ia menjadi simbol kemampuan partai memobilisasi masyarakat sekaligus dan menjadi “penyambung lidah rakyat”. Tetapi tren ini menunjukan partai politik mulai kehilangan keduanya.
Persoalannya ada pada tren masyarakat sipil yang semakin independen dan beragam. Di era 50-an, partai politik adalah representasi dari masyarakat sipil itu sendiri. Organisasi sayap partai seperti serikat buruh dan keagamaan menjadi saluran aspirasi kolektif masyarakat. Saat ini, informasi bukan lagi barang yang langka. Setiap orang memiliki beragam preferensi dan aspirasi yang beragam. Mereka menjadi tidak cukup terwakilkan melalui satu organisasi kolektif saja.
Sayangnya partai politik tidak cukup responsif terhadap perubahan masyarakat. Mekanisme internal partai politik, sebagaimana terlihat pada artikel Demokrasi Rasa Oligarki: Kesenjangan Elit Politik di Indonesia, membuat politisi baru susah untuk “naik kelas” dan akhirnya tersingkir dari partai. Pada hal para politisi baru inilah yang sering bekerja dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Oligarki partai menjadi semakin mapan dan kehilangan kontrol dari masyarakat.
Gelombang masyarakat sipil yang sedang keranjingan “berpolitik” saat ini adalah gelombang sejarah yang tidak terhindarkan. Fenomena Relawan Jokowi dan Teman Ahok hanyalah pucuk-pucuk dari arus besar tersebut. Masih akan ada pucuk gelombang yang jauh lebih besar di depan. Pada saat itu, hanya partai politik yang progresif dan mampu memahami kehendak zaman yang akan mampu bertahan.
Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute