Demokrasi Rasa Oligarki: Kesenjangan Elit Politik di Indonesia

2016-03-21 14:11:11 GMT · oleh Ardian Maulana · politik

Diagram alir perpindahan elit politik.

Diagram alir perpindahan elit politik antar kelas politik seiring waktu. Ketebalan aliran proporsional terhadap kuantitas elit yang berpindah. Warna mewakili 3 kelas politik. Biru: high atau 5% elit politik teratas. Kuning: middle atau 6-40% elit politik teratas. Merah: 60% elit dengan popularitas terendah. Hitam: elit politik yang baru muncul ke permukaan.

Para pengisi panggung politik Indonesia dalam satu dekade terakhir tidak banyak berubah. Beberapa nama baru yang tiba-tiba sangat bersinar memang jadi pengecualian. Tapi tetap saja tidak signifikan dibandingkan mayoritas lainnya, yang itu-itu saja.

Persoalan ini tidak sesederhana karena kita bosan dan kemudian berharap hadirnya wajah baru yang lebih segar. Hal yang lebih mendasar yaitu mandegnya sirkulasi elit politik membuat segelintir orang atau kelompok menjadi lebih dominan, lebih kuat bertahan, dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan publik. Kesenjangan politik dan kesenjangan sosial-ekonomi saling bergandengan tangan.

Kita dapat menggunakan data pemberitaan elit politik di media massa sebagai proksi untuk melihat lebih jernih panggung politik Indonesia dan aktor-aktornya dalam beberapa tahun terakhir. Data ini bersumber dari perangkat komputasi Newsmedia Processing Suite (NPS) Bandung Fe Institute.

Indeks Ketimpangan popularitas elit politik Indonesia saat ini adalah 0.89 (skala 0 – 1).

Popularitas adalah modal politik yang sangat penting. Ada hubungan yang timbal balik antara popularitas dan posisi politik. Kompetisi berebut sumber daya ini mendorong perpolitikan Indonesia ke arah kondisi winner ­take ­all system, dimana kelompok pemenang menguasai hampir keseluruhan sumber daya yang tersedia.

Popularitas elit politik.

Kurva warna biru menunjukan popularitas elit politik secara berurutan (besar-kecil). Kurva warna merah menunjukan perubahan akumulasi popularitas dari sejumlah n persen elit politik.

Seperti terlihat di gambar, akumulasi popularitas 1% elit terpopuler (sekitar 25-30 orang) mencapai 36% total “sumber daya popularitas”. Sementara itu 5% di antaranya menguasai hampir 76% sumberdaya.

Ketimpangan sesungguhnya adalah keluaran yang natural dari semua sistem yang bersifat organis. Namun tidak akan menjadi masalah selama proses sirkulasi sumberdaya tidak tersumbat. Untuk menyelidiki hal ini kita mengklasifikasi elit politik ke dalam 3 level popularitas untuk setiap rentang waktu tertentu. Dengan cara ini menghitung seberapa rigid panggung politik Indonesia.

Rata-rata 71,9% elit politik “kelas atas” di isi oleh mereka yang sudah berada di level itu sebelumnya.

Seperti pemeo yang populer “mereka yang kaya hanya akan semakin kaya”. Sementara kelas bawah akan semakin sulit untuk “naik kelas”. Hanya 0,8% elit politik di kelas ini yang bersumber langsung dari kelas paling bawah. Peluangnya tentu sangat kecil mengingat “kelas atas” hanya berisi 5% dari keseluruhan aktor politik.

Kerigidan di “high level” elit ini menjalar ke level menengah. Elit politik kelas bawah hanya memasok rata-rata 17,5% dari 35% total aktor politik di level ini.

Tentu saja ada banyak persoalan struktural di balik rigidnya panggung politik Indonesia. Pers dan partai politik adalah pihak yang dengan mudah disalahkan atas kenyataan ini. Tidak dapat dibantah bahwa kedua pilar demokrasi itu memang masih jauh dari ideal. Pers belum sepenuhnya “bebas”. Sementara itu kader-kader partai politik masih terkungkung dalam oligarki elit partai.

Namun memaksa partai politik untuk “membebaskan” kader-kadernya untuk berkompetisi secara bebas juga bukanlah solusi. Berlawanan dengan intuisi umum, kesenjangan yang lebih ekstrim justru akan terjadi saat elit politik bebas tanpa partai. Panggung politik akan penuh dengan gelembung-gelembung popularitas yang membesar namun juga pecah dengan cepat. Meskipun sesekali kita akan menemukan sosok yang tepat seperti Jokowi.

Sistem sosial yang kompleks ini tetap memerlukan regulasi untuk memastikan proses sirkulasi sumber daya berlangsung maksimal. Disinilah peran partai politik. Partai politik sebagai produk dinamika masyarakat abad 19 harus terbuka dengan semangat, norma, teknologi dan aspirasi kolektif masyarakat abad 21. Saat dimana partai politik menolak untuk terbuka terhadap perubahan adalah saat yang tepat bagi lahirnya partai politik baru yang progresif.


Ardian Maulana

Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute