Teknologi Informasi dan Gelombang Demokrasi Keempat
2016-02-08 02:59:25 GMT · · politik
Analisis komparatif negara demokrasi berdasarkan data Polity IV dan frekuensi penggunaan kata terkait media-media informasi berdasarkan data Google N-Gram.
Politik Indonesia sangat dinamis dalam 10 tahun terakhir ini. Di pemilu 2004, pemirsa televisi-lah yang memilih SBY sebagai presiden. Setelah itu muncul teori bahwa televisi adalah faktor utama dalam kontestasi politik. Namun semuanya berubah ketika media sosial mengantar Jokowi memenangkan pemilu 2014. Apakah dunia politik sedang berubah? Mari kita melihatnya dalam kerangka evolusi teknologi informasi.
Ada hubungan mutualistik antara politik dan teknologi informasi. Hal terpenting dalam politik adalah komunikasi dengan konstituen. Komunikasi tersebut meliputi aspek konten, persepsi dan pemahaman atas informasi, serta seberapa luas dan personal komunikasi dilakukan. Surat kabar, radio, televisi dan internet memiliki karakteristik berbeda. Mereka masing-masing mewakili era politik yang berbeda.
Ada masa dimana elit politik mengandalkan surat kabar dan selebaran untuk menjangkau publik. Ini adalah era Alexander Hamilton dan kawan-kawan menulis “The Federalist Papers” yang menjadi landasan konstitusi Amerika. Juga era ketika Tan Malaka menulis “Gerpolek” yang banyak dibaca pejuang kemerdekaan Indonesia saat itu. Masa dimana politik adalah persoalan ide dan pemikiran.
Personalisasi politik muncul saat politik Amerika memasuki era radio di tahun 1929. Sentuhan personal tak terhindarkan ketika pidato politik terdengar sampai ke ruang-ruang keluarga. Calvin Coolidge, presiden Amerika yang pertama kali memanfaatkan radio untuk seolah-olah “berbicara langsung” dengan rakyatnya, mengatakan:
”I can’t make an engaging, rousing or oratorical speech…but I have a good radio voice, and now I can get my message across to [the public] without acquainting them with my lack of oratorical ability”.
Butuh 60 tahun untuk sampai ke game changing moment berikutnya. Tepatnya saat televisi pertama kali menyiarkan debat kandidat presiden Amerika tahun 1960. Duel John F Kennedy versus Richard Nixon dimenangkan oleh Kennedy, meskipun pemirsa radio tetap memilih Nixon. Jelas tanpa televisi tidak mungkin warga Amerika bisa mengapresiasi wajah, gaya dan pembawaan Kennedy yang hangat dibanding Nixon yang pucat dan kaku. Amerika pun memasuki babak baru politik sebagai hiburan.
Kita dapat menyandingkan fenomena ini dengan Barack Obama dalam pemilu Amerika 2008. Ia adalah sosok yang muda, relatif tidak terkenal namun jeli memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menjangkau pemilih.
Karakteristik 4 gelombang demokrasi.
Namun tentu saja ini bukan semata-mata faktor persona elit politik dan medium informasinya, tetapi juga aspek penerimaan publik atas teknologi tersebut. Televisi hadir secara komersial sejak 1940. Internet telah hadir sejak tahun 1996. Butuh waktu untuk menjadi media dominan dan memberikan dampak yang signifikan dalam politik. Ketika inovasi teknologi telah mengubah cara publik berkomunikasi maka game changing moment tinggal menunggu waktu.
Evolusi teknologi informasi senantiasa mendorong perubahan global yang lebih fundamental dari sekedar pemilihan presiden. Arab Spring adalah salah satu efek fenomenal internet dimana rezim otokratis di Timur Tengah runtuh oleh aksi kolektif publik yang bersenjata media sosial.
Data Polity IV telah mengkonfirmasi masa-masa dimana jumlah negara demokrasi di dunia melonjak naik. Google N-gram telah mengkonfirmasi keterkaitan lonjakan tersebut dengan perubahan medium komunikasi yang populer digunakan. Mungkin kita perlu mengkaji lagi teori tiga gelombang demokrasi Samuel Huntington. Ia sepertinya luput melihat kemunculan gelombang baru di akhir abad 20. Era ketika popularitas internet melonjak naik menggantikan televisi.
Gelombang demokrasi keempat sudah di depan mata. Mari mengubah cara pandang kita terhadap politik.
Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute