Para Bakal Calon Presiden di Tiktok-sphere

2023-05-15 10:57:23 GMT · oleh hokky · politik

politiktok.png

Jejaring interes/perhatian antar video-video politik di Tiktok. Dua video yang terhubung memiliki kesamaan interes di kalangan para pengguna Tiktok, muncul di for your page layar Tiktok.

Pemilu 2014 menyaksikan media sosial Twitter sebagai ruang propaganda kampanye yang menakjubkan. Pemilu 2019 Youtube tampaknya menjadi ruang propaganda dahsyat yang “menggeser” televisi di tengah derasnya arus internet broadband saat itu. Bagaimana lanskap digital politik di Pemilu 2024? Mungkin Tiktok-sphere akan lebih banyak berkisah, sebagaimana yang terlihat saat ini, kurang dari setahun jadwal Pemilu 2024.


Tiktok memang fenomenal. Ia merupakan platform media sosial yang mengglobal pertama yang made in China, yang di Indonesia saja sudah digunakan lebih dari 110 juta pengguna (1.05 milyar pengguna sedunia). Dalam 5 tahun sejak peluncurannya (2018), menggoyang dominasi Facebook dengan 120 juta pengguna di Indonesia (1.98 milyar sedunia) dan aplikasi berbagi video Youtube dengan lebih dari 140 juta di Indonesia dan 2.51 milyar lebih sedunia. Pengguna Tiktok sudah melewati pengguna media sosial berbagi foto Instagram yang 90 juta di Indonesia dan 1.32 milyar sedunia. Yang lebih unik, lebih dari 60% penggunanya adalah kaum muda rentang usia 18-24 tahun (populernya disebut Gen Z), di mana hampir setengah dari mereka menggunakan Tiktok untuk mencari informasi dan berita ketimbang menggunakan aplikasi mesin pencari seperti Google. Tak pelak, jika anda adalah politisi atau partai politik yang ingin menyasar pemilih muda, mulailah menggunakan Tiktok!

Apa yang baru dari Tiktok sehingga ia bisa begitu heboh (khususnya di kalangan muda)? Secara norma pemrograman aplikasi media sosial, ia sama seperti media sosial lain: ada follow/unfollow, subscribe/unsubscribe, like/dislike, pemberian komentar atas postingan video dari pengguna. Tiktok sebenarnya seperti Youtube, tapi pengguna memposting video yang durasinya tak lebih dari 10 menit. Namun berbeda dengan media sosial besutan Silicon Valley lain seperti Facebook, Twitter, Instagram, ia menampilkan video-video pendek tersebut tidak serta-merta berdasarkan timeline dari “jejaring sosial”, tapi “jejaring minat/perhatian”. Di layar aplikasi, Tiktok tidak menampilkan video atas kronologis media sosial, tapi “menebak” minat penggunanya.

Akibatnya? Sebuah video pendek bisa viral dan ditonton jutaan orang tak hanya karena ber-follower/subscriber banyak. Videomu cenderung akan akan ditampilkan oleh algoritma Tiktok di layar handphone pengguna lain yang kira-kira berminat melihat videomu. Sebuah contoh kasus, Jennifer Lopez baru-baru ini memposting sebuah video yang sama di Twitter dan TikTok. Dia memiliki 45 juta follower di Twitter dan 5 juta follower di TikTok. Video di Twitter ditonton 2 juta orang (dari 45 juta follower-nya). Sementara video di TikTok mendapat 71 juta tampilan (sementara follower-nya “hanya” 5 juta). Tak heran jika sebuah akun yang ber-follower belasan, dapat dengan “mudah” ditonton sejuta kali!

Di Tiktok, viralitas konten menjadi hak semua pengguna, bukan lagi semata-mata monopoli para selebritas informasi. Ini karena algoritma rekomendasi Tiktok memberikan peluang konten-konten dari para newcomers untuk muncul di halaman FYP (for your page), dan memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menjadi selebritas baru. Oligarki informasi secara natural tetap muncul, tapi sirkulasi kuasa mendorong pembaharuan tetap terjadi dalam ekosistem informasi di Tiktok.

Bagaimana ini semua bekerja? Setiap kali aplikasi Tiktok di-instal dan dibuka, ia secara “rakus” mengumpulkan data tentang siapa, apa, bilamana, dan dimana gawai elektronik tersebut dibuka. Dari dekompiliasi aplikasi Tiktok yang beredar dan pemeriksaan trafik internet ketika ia dibuka (jika penggunanya tidak menggunakan app melainkan browser), jelas terlihat bahwa Tiktok mengumpulkan (harvesting) informasi berkaitan dengan jaringan internet yang digunakan, jenis dan karakteristik gawai yang dipakai, hingga aplikasi-aplikasi lain di gawai tersebut yang juga dibuka, termasuk akses memori yang ada di gawai tersebut. Ini semua dilakukan tentu jika diizinkan oleh sistem operasi gawai tersebut; tapi rata-rata informasi-informasi teknis tersebut memang diizinkan secara default ketika kita menginstal aplikasi. Informasi ini menjadi masukan bagi server Tiktok untuk mencari kesesuaian di akun mana video tersebut akan ditampilkan, tak peduli apakah akun tersebut mem-follow. Metode ini diklaim menggunakan artificial intelligence untuk mengoptimisasi prosesnya; jadi dilakukan secara otomatis atas jutaan video dan milyaran akun Tiktok yang ter-instal di seluruh dunia, tak peduli apakah konten tersebut benar-sebenar-benarnya atau hoax/misinformasi. Memang ada mekanisme untuk take down sebuah video di Tiktok yang terbukti melanggar norma atau bersifat hoax/misinformasi, namun tentunya, setelah video tersebut viral, meresahkan, dan diadukan ke Tiktok…

dekompiltiktok.png

Tak perlu login untuk menikmati Tiktok: dekompilasi aplikasi Tiktok menunjukkan upaya pengumpulan informasi, mulai dari lokasi berdasarkan jaringan internet yang digunakan, aplikasi lain yang dijalankan, hingga informasi-informasi dalam memori gawai elektronik yang digunakan, yang digunakan oleh server Tiktok untuk menebak video apa yang menjadi interest pengguna agar dimunculkan di layar aplikasi

Proses menampilkan video pendek yang oleh mesin dianggap “sesuai” dengan masing-masing akun menjadikan bagi banyak orang, Tiktok adalah candu. Average monthly hours spent per user-nya sudah jauh di atas Facebook dan Instagram. Hal ini karena Tiktok menyajikan apa yang diinginkan, dan mungkin diinginkan, oleh pengguna. Apa yang direkomendasikan tidak lagi terbatas untuk memenuhi keinginan bersama pengguna secara umum, tapi semakin disesuaikan dengan keinginan spesifik personal seorang pengguna. Keinginan-keinginan tersebut terefleksi melalui video yang ditonton, di-share, di-comment, lagu yang digunakan, deskripsi konten dan lain-lain. Oleh karena itu, berbeda dengan aplikasi media sosial lain yang berbasis pada jejaring sosial (social network), ekosistem informasi di Tiktok terbentuk dari lanskap jejaring keinginan dari penggunanya (interest network).

Terlepas dari berbagai polemik tentang dampak regulasi (Tiktok dilarang di beberapa negara besar/maju berkaitan dengan keamanan data), dampak sosial (Tiktok dituduh sebagai biang keladi pengguna yang menjadi “korban” tren pemviralan video), hingga ikhwal persaingan dagang antara yang made in China dan yang bukan, Tiktok menggambarkan interest dan perhatian khalayak populasi penggunanya. Jika medsos lain menguak peta jejaring sosial orang, Tiktok menguak peta perhatian/interest orang dan secara cerdas meng-eksploitasinya demi meraup pertumbuhan penggunaannya.

Peta perhatian pengguna Tiktok berkaitan dengan bakal capres-capres di Pemilu 2024 nanti menggambarkan banyak hal menarik. Yang jelas, video-video berbau politik mulai terfragmentasi menjadi 3 klaster besar bacapres Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Di dalam tiap klaster besar tersebut, kita juga dapat melihat klaster-klaster yang lebih kecil, mulai dari video postingan Tim Kampanye masing-masing kandidat hingga video-video yang menggambarkan karakteristik interes dari masing-masing tim kampanye kandidat yang tentunya menggambarkan bagaimana karakteristik pendukungnya, dan pemilihnya nanti pasca pemilihan. Mendalami hal ini, ditambah dengan memperhatikan teks-teks komentar di masing-masing video, lanskap Tiktok memberikan gambaran yang cukup representatif kemana suara pemilih muda pada Pemilu 2024 nanti.

Demografi pengguna Tiktok yang berusia muda, mudahnya informasi tersebar dan menjadi viral, aktivitas tiktok yang menjadi ‘candu’ bagi penggunanya, membuat kita dapat dengan mudah menduga bahwa media sosial ini akan sangat berpengaruh dalam persebaran informasi di pemilu 2024 nanti. Seperti bagaimana media sosial lain memberikan pengaruh di pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu Facebook di pemilu 2009, Twitter di pemilu 2014, dan Youtube di pemilu 2019. Di 2024, Tiktok akan menjadi medium baru bagi para politisi untuk menjangkau generasi Z dan Milenial yang jumlahnya hampir mencapai 60 persen dari total pemilih.

Jika ingin viral, gunakanlah Tiktok, dan kenali interest calon audiensmu! Suatu pesan bagi para pemasar produk hingga pemasar agenda politik dan politisi di jelang Pemilu ini. Namun bagi penikmat Tiktok, perlu berhati-hati. Jangan sampai video hoax yang bermunculan di layar Tiktok-mu menjadikanmu salah dalam menentukan pilihan politik…


Hokky Situngkir & Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute