Membandingkan Kebijakan Pandemi, In Silico
2020-08-01 14:40:37 GMT · · sosial
Pandemi masyarakat buatan dengan panel pengaturan parameter. Bulatan sebagai representasi entitas agen di mana warna merah menandakan agen terinfeksi, hijau agen yang sembuh, dan putih agen rentan.
Kita menyaksikan bagaimana negara-negara di dunia berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan dan ketiadaan vaksin, strategi-strategi intervensi yang feasible bertumpu pada upaya mitigasi di level sosio-masyarakat. Pembatasan interaksi dan “transmisi” sosial dalam ragam bentuknya diberlakukan untuk menekan laju penyebaran penyakit dan angka mortalitas. Ide dasarnya, memisah populasi terinfeksi dari mereka yang berstatus rentan. Bagaimanapun, penerapan kebijakan demikian berimbas pada aspek non-epidemiologis seperti ekonomi, sosial-budaya, hingga aspek psikologis di tataran individu.
Lockdown, salah satu yang populer, di samping beroleh sorotan setelah disebut-sebut efektif diterapkan di Tiongkok, juga menuai respons penolakan atas pertimbangan hitungan ekonomi makro hingga isu terkait hak asasi. Hasil survei di berbagai negara melaporkan peningkatan angka depresi dan kecemasan (anxiety) menyusul mulai diterapkannya kebijakan “tetap-di-rumah” tersebut. Keterbatasan mobilitas sosial yang berakibat pada perasaan kesepian, tekanan sosial, hingga ketidakpastian sumber penghidupan, akan meningkatkan beban stress (allostatik) dan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Selain itu, ketergantungan obat-obatan yang cenderung meninggi justru melemahkan kondisi kesehatan masyarakat.
Sebagian besar negara memilih alternatif kebijakan yang tergolong lebih longgar. Imbauan pen-jarak-an fisik (physical distancing) misalnya, mengharapkan masyarakat untuk saling menjauh satu sama lain ketika tersituasikan berdekatan. Pertemuan yang melibatkan banyak orang, tidak diperbolehkan. Penggunaan masker ketika beraktivitas luar maupun di dalam ruang padat orang direkomendasikan oleh WHO, mengikuti strategi mula-mula yang berkembang di timur Asia. Sementara pada negara-negara yang amat terdampak, fasilitas dan tempat publik seperti taman, restoran, sekolah, terpaksa ditutup.
Snapshot penerapan kebijakan lockdown (kiri) dan penggunaan masker (kanan) pada masyarakat buatan.
Menjelaskan kemunculan epidemi dan varian skenario pengendaliannya itu, kita membangun suatu model mainan (toy model) berbasis agen. Kerangka pemodelan ini memungkinkan kita untuk menggambarkan hubungan antara mekanisme perilaku individu (aktor) dengan data-data agregat epidemiologi. Besaran makro yang umum seperti angka dan pertambahan kasus terinfeksi, kesembuhan, kematian, dan lainnya, akan “ditumbuhkan” secara bottom-up melalui simulasi sosial “masyarakat in silico”. Pada masyarakat inilah selanjutnya berbagai implementasi strategi-kebijakan dapat diobservasi efektivitasnya. Untuk merefleksikan efek kebijakan epidemi terhadap dimensi sosial, indeks kesejahteraan sosio-psikologis juga dikalkulasi.
Deskripsi agen di level mikro mengelaborasi faktor-faktor situasi sosial dan keadaan mental sebagai gambaran atas keterjangkauan tempat, kebutuhan bersosialisasi, serta faktor kejumudan agen. Dengan skema feedback, komposisi faktor-faktor tersebut membimbing pergerakan dan interaksi antar agen di lanskap dunia buatan. Titik-titik “atraksi” ada untuk mencerminkan tempat di mana orang-orang membangun keramaian seperti pada pasar, perkantoran, tempat rekreasi, apapun. Pada gilirannya, kehadiran agen terinfeksi (patient zero) memungkinkan penyakit merebak ke keseluruhan populasi.
Simulasi tanpa intervensi memberikan potret tentang pembentukan imunitas kelompok secara alamiah sebagaimana proses kompleks evolusioner yang sudah menjadi mekanisme umum sistem eko-hayati sejak sebelum peradaban modern. Skenario ini bertumpu pada gagasan bahwa agen-agen yang telah mengalami kesembuhan tidak lagi tertular penyakit. Rantai infeksi akan terganggu semenjak patogen semakin sulit menemukan inang baru. Menerapkan strategi ini, epidemi diharapkan berakhir ketika sebagian besar populasi telah membangun kekebalan, baik oleh antibodi alami maupun melalui vaksinasi. Angka kematian yang berisiko melampaui batas wajar menjadikan strategi yang bertumpu pada mekanisme seperti ini: kontroversial.
Perbandingan hasil simulasi skenario kebijakan lockdown dan re-opening yang terlalu dini (kiri) dengan kombinasi strategi penggunaan masker, physical distancing, dan penutupan tempat publik (kanan).
Kita kemudian membandingkan serangkaian eksperimen menurut variasi intervensi pada model. Hasil simulasi skenario lockdown pada gambar (kiri) menunjukkan bahwa laju penyebaran penyakit dapat ditekan secara impresif. Meski demikian, rataan indeks kesejahteraan sosio-psikologis agen terlihat jatuh pada periode pemberlakuan intervensi. Juga, ketepatan momentum re-opening menjadi penting demi menghindari kemunculan gelombang epidemi susulan.
Pada strategi kombinasi (penggunaan masker, physical distancing, dan penutupan tempat publik), hasil menarik dapat diamati pada gambar (kanan). Laju infeksi secara efektif menurun walau tidak sesegera pada skenario lockdown memang. Tetapi meninjau aspek kesejahteraan agen, kini penurunan indeks terbilang relatif lebih ringan. Hal ini dikarenakan orang-orang tetap dapat bermobilitas untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Bagaimanapun, keberhasilan strategi ini pada akhirnya amat bergantung pada tingkat disiplin kesehatan serta solidaritas sosial anggota masyarakat.
Tidak ada solusi tunggal bagi penanganan pandemi ketika kita menginsyafi kompleksitas yang ada. Pertimbangan ragam aspek dan konsekuensi kesalingterhubungannya mesti diikutkan dalam formulasi kebijakan-yang-tepat.
Andhika Lumbantobing
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute