Menelaah Kontestasi Ideologi antar Partai Politik di Indonesia

2018-06-17 08:25:12 GMT · oleh Ardian Maulana · politik

Diskursus politik Indonesia sangat didominasi oleh ide bahwa kompleksitas politik Indonesia dapat disederhanakan sebagai kontestasi antara dua arus ideologi dominan: Nasionalisme versus Islamisme. Keduanya ditempatkan di sisi berlawanan dalam spektrum ideologi 1 dimensional. Partai-partai nasionalis berada di sisi kiri dengan orientasi nilai politik progresif, sementara partai-partai agama dengan ideologi Islamisme berada di sisi kanan dengan orientasi nilai konservatif.

Cara pandang ini terkadang menjadi sangat otoritatif menentukan tindakan yang akan diambil oleh aktor-aktor politik, misalnya dalam penentuan pasangan kandidat dalam pemilu atau pemilihan koalisi partai.

Pertanyaannya: apakah realita politik Indonesia sesederhana pembelahan ideologi Nasonalisme versus Islamisme? Apakah spektrum ideologi 1 dimensional Nasionalisme – Islamisme merupakan model yang tepat untuk merepresentasikan keragaman orientasi ideologi partai-partai yang ada?

Artikel ini akan menjawab-nya menggunakan pendekatan muldimensional. Pendekatan ini diimplementasikan pada data hasil survei “respon partai politik terhadap sejumlah isu terkait ideologi”, yang dipublikasikan melalui artikel “Mapping the Indonesian political spectrum”.

#1. Adakah perbedaan orientasi ideologi partai-partai politik di Indonesia?

Metode pohon ultrametrik cocok digunakan untuk menyingkap jarak dan relasi ideologis terdekat dari setiap partai. Dengan memanfaatkan algoritma Kruskal kita dapat menemukan pohon bentangan terpendek (Minimum Spanning Tree/MST) relasi ideologis antar partai politik seperti yang divisualkan di gambar 1. Pola relasi tersebut untuk selanjutnya kita sebut sebagai taksonomi partai-partai di Indonesia berdasarkan ideologi.

taksonomi_ideologi.png

Taksonomi di atas mengungkap beberapa informasi penting sebagai berikut:

  • Partai-partai berbasis agama (PAN, PKS, PPP, PKB) memiliki jarak ideologis yang relatif dekat satu sama lain. Meskipun secara internal juga terlihat adanya jarak ideologis yang relatif jauh antara PKS dengan PPP dan PKB. Hal ini konsisten dengan dugaan umum tentang perbedaan ideologi politik yang diusung oleh PKS yang berbasis islam perkotaan dengan PPP dan PKB yang berorientasi islam tradisional.

  • Dalam konteks pengkubuan agama versus non agama, PAN memiliki posisi yang sentral karena berperan sebagai jembatan ideologis. Di satu sisi, ia menghubungkan PKS dengan PKB dan PPP, dan di sisi lain, ia relatif dekat secara ideologis dengan partai-partai non Agama.

  • Partai Golkar menempati posisi yang sentral di kubu partai-partai non agama. Ia berperan sebagai hub ideologis yang menghubungkan Nasdem, Demokrat, Gerindra dan Hanura. Meskipun partai-partai pecahan Golkar itu berjarak secara ideologis satu sama lain namun kesemuanya tetap terhubung secara ideologis dengan partai asalnya.
  • PDIP, Demokrat, PPP dan PKS menempati posisi terluar dari taksonomi ideologi partai-partai di Indonesia. Artinya, keempatnya memiliki jarak ideologis yang berjauhan satu sama lain.

Pendekatan ultrametrik tidak menyediakan informasi dalam hal apa partai-partai tersebut berbeda, dan bagaimana menginterpretasi perbedaan itu. Untuk menjawab hal itu kita perlu menemukan model spektrum ideologi yang merepresentasikan keragaman orientasi ideologi partai-partai politik di Indonesia.

#2. Apakah pembelahan 1 dimensional nasionalisme-islamisme representatif menggambarkan keragaman orientasi politik partai?

Spektrum ideologi partai politik adalah sistem koordinat multidimensi dimana setiap sumbu geometris-nya bersifat orthogonal satu sama lain dan merepresentasikan suatu orientasi ideologi tertentu. Respon partai politik atas sejumlah isu yang relevan dengan ideologi akan menentukan posisi setiap partai dalam spektrum tersebut.

Ada banyak sumbu ideologi yang populer digunakan untuk menyusun spektrum politik. Misalnya sumbu kiri-kanan, pasar bebas – protektionisme, liberatarian – otoritarian, tradisional – sekular dan lain-lain. Namun kita menghindari untuk menetapkan sumbu penyusun spektrum ideologi secara sepihak. Dengan menggunakan pendekatan Principal Component Analysis kita membiarkan data dan algoritma menentukan sendiri model spektrum multidimensional (jumlah dimensi, variabel yang berkontribusi dan posisi partai di setiap dimensi ideologi) yang sesuai untuk merepresentasikan konstelasi dan kontestasi antar ideologi dalam sistem politik Indonesia.

histo.png

Kita menemukan bahwa model 2 dimensi-lah yang paling representatif sebagai spektrum ideologi partai-partai di Indonesia. Dari gambar 2a di atas terlihat dimensi pertama hanya mewakili 59.9 persen variasi informasi yang terkandung dalam data. Sementara kumulasi variasi informasi yang terkandung dalam dua dimensi dominan mencapai 82.6%. Untuk selanjutnya kita menetapkan spektrum politik Indonesia tersusun atas dua sumbu utama. Gambar 2b. memvisualisasikan spektrum tersebut beserta arah korelasi dan kontribusi setiap variabel pada masing-masing sumbu-nya.

tabel.png

Komposisi dan arah korelasi variabel dominan di setiap dimensi menentukan karakteristik dan interpretasi sumbu-sumbu penyusun spektrum ideologi. Tabel 1 di atas menunjukan detail informasi terkait hal ini. Dari sini dapat kelihatan bahwa tipologi 1 dimensional seperti nasionalisme – Islam tidak mampu mewakili keragaman respon partai yang tergambar di data. Tipologi ini hanya terkait dengan 2 variabel (dasar partai dan peran politik islam) dari 6 variabel penyusun dimensi pertama spektrum ideologi. Demikian pula dengan tipologi populer lainnya seperti tipologi ideologi kiri – kanan. Sebagai contoh, dukungan terhadap emansipasi wanita dan peran negara dalam ekonomi merupakan dua isu yang berasosiasi dengan ideologi “kiri” di Indonesia. Namun berdasarkan tabel 1 terlihat kedua variabel tersebut berkontribusi pada dua dimensi yang berbeda, dengan arah korelasi yang berlawanan.

Hal ini mengkonfirmasi karakteristik multidimensi spektrum ideologi partai politik di Indonesia. Konstalasi politik di Indonesia terlalu berwarna untuk disederhanakan menjadi sekadar kontestasi antara arus ideologi nasionalisme versus Islam atau kiri versus kanan dalam spektrum ideologi 1 dimensi.

Perspektif ideologi sebagai sistem nilai digunakan dalam melakukan interpretasi dan pemaknaan atas setiap dimensi ideologi yang telah ditemukan.

Dimensi pertama spektrum ideologi kita namakan dimensi progresif-konservatif. Partai-partai yang berorientasi konservatif akan cenderung untuk menjadikan nilai-nilai tradisi dan agama sebagai sumber kebijaksanaan yang memberikan inspirasi tatanan dan pranata sosial yang seharusnya berlaku di masyarakat. Sebaliknya semakin progresif suatu partai maka akan makin cenderung menjadikan prinsip pengetahuan, kebebasan dan kemanusiaan sebagai landasan dasar atas apapun yang terkait kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dimensi kedua kita sebut sebagai dimensi etis – esoteris. Dari tabel 2 terlihat dimensi ini tersusun dari mayoritas variabel-variabel ekonomi. Dukungan partai politik pada peran negara yang lebih besar di wilayah ekonomi serta keberpihakan negara pada kepentingan rakyat dan orang miskin dibandingkan peran swasta dan investor merupakan aktualisasi dari tendensi esoteris parpol yang menempatkan negara dan kolektivitas masyarakat sebagai entitas yang mengayomi dan, secara hirarkis, memiliki otoritas moral yang lebih tinggi dari individu. Hal ini berbeda dengan tendensi etis partai politik yang melihat negara semata-mata sebagai agregasi aspirasi bersama warganya. Konsekuensi praktisnya adalah pembatasan peran negara di wilayah privat ekonomi.

#3. Peta ideologi partai dalam spektrum 2 dimensi

Gambar 3 di bawah ini memvisualisasikan posisi setiap partai dalam 4 kuadran ideologi, yaitu kuadran progresif – esoteris (PDIP, Gerindra, Hanura), konservatif – esoteris (PAN, PKB, PPP), konservatif – etis (PKS) dan kuadra progresif – etis (NasDem, Partai Golkar, Demokrat). Namun tidak hanya itu. Peta ideologi ini juga membantu kita untuk mengevaluasi pemahaman umum tentang konstalasi ideologi partai politik di Indonesia.

spektrum.png

Seperti terlihat di gambar 3, sumbu orientasi progresif – konservatif memisahkan dengan baik partai-partai berbasis agama (PAN, PKS, PKB, PPP) yang berorientasi konservatif dan partai-partai non agama (PDIP, Gerindra, Hanura, NasDem, Golkar dan Demokrat) yang berorientasi progresif. Dengan kata lain partai-partai non-agama relatif lebih terbuka terhadap kemajuan dan perubahan (isu-isu pluralisme, emansipasi, pembaharuan dan liberalisasi politik) dibandingkan partai berbasis agama. Namun demikian, label agama/non agama atau nasionalisme versus Islam tidak cukup representatif sebagai acuan dalam memetakan posisi ideologi partai di Indonesia.

Hal ini karena, pertama, isu agama hanya 2 dari 6 variabel yang berkontribusi pada sumbu orientasi ideologi progresif – konsevatif. Kedua, partai-partai berlatar-belakang agama juga memiliki orientasi ideologi yang beragam. PKB dan PPP yang berbasis islam tradisional berada di kuadran konservatif- esoteris. Sementara PKS berada sendiri di kuadran ideologi konservatif – etis. Ini menunjukan bahwa meskipun sama-sama konservatif, PKS lebih berorientasi etis, misalnya dalam hal kebijakan ekonomi, dibandingkan partai Islam lainnya. Demikian pula dengan PAN yang lebih moderat dan relatif terbuka pada kemajuan dibandingkan PPP dan PKB.

Perbedaan ini konsisten dengan latar belakang sejarah partai-partai islam tersebut. PKS dapat dikatakan sebagai fenomena baru politik Islam di Indonesia karena tidak memiliki akar sejarah pada organisasi-organisasi Islam yang ada atau pernah ada di Indonesia. Hal ini berbeda dengan PAN, PPP dan PKB yang berasosiasi kuat dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Partai-partai yang berorientasi progresif juga memiliki posisi ideologi yang beragam. Tidak semua partai yang ada di kuadran progresif dapat dikategorikan sebagai partai nasionalis. Hal ini karena sikap nasionalistik hanya menjadi kebajikan utama dalam sistem nilai esoteris. Orientasi nilai etis – esoteris inilah menjadi pembeda-nya. PDIP, Gerindra dan Hanura lebih beorientasi esoteris dengan sistem nilai yang cenderung hirarkis, menekankan peran negara dan kolektivitas masyarakat dibandingkan dengan Demokrat, Golkar dan NasDem yang berorientasi etis dalam melihat dinamika sosial ekonomi. Menariknya, hal ini konsisten dengan kenyataan bahwa label partai nasionalis jauh lebih melekat pada PDIP, Gerindra dan Hanura. Demikian juga dengan partai Golkar, yang merupakan “induk” Demokrat dan Nasdem, identik dengan ideologi “kekaryaan” yang relatif pro pada pertumbuhan, investasi dan peran swasta dalam ekonomi.

Spektrum politik merupakan model untuk menyederhanakan dan memunculkan keteraturan dari kompleksitas opini, perilaku dan peristiwa politik. Oleh karenanya ia hanya berharga jika mampu meningkatkan, bukannya mengubah, pemahaman atas realita politik yang direpresentasikannya. Tiga pointer dalam artikel ini menjawab tuntas hal tersebut.

Apresiasi positif harus diberikan kepada Edward Aspinal dkk yang telah melakukan survei dan mempublikasikan data sistematik yang digunakan dalam artikel ini. Hal ini karena kajian empiris tentang ideologi partai politik di Indonesia sangatlah minim. Umumnya, studi Clifford Geertz atau Herbert Feith yang dilakukan 4-5 dasawarsa lalu masih jadi sandaran utama ketika membahas spektrum ideologi partai politik di Indonesia.

Sementara itu upaya melihat posisi ideologi berdasarkan kebijakan ekonomi-sosial-politik yang diperjuangkan oleh partai sulit untuk dilakukan. Hampir tidak terlihat adanya diferensiasi kebijakan dari partai-partai dengan label ideologi yang berbeda. Tidak heran jika publik dengan mudah menuduh partai politik di Indonesia tidak memiliki perbedaan ideologi sama sekali. Kita menyodorkan beban untuk menjawab tuduhan ini pada para intelektual partai politik yang sejauh ini gagal menerjemahkan sistem nilai dan orientasi politik partai-nya ke dalam bentuk kebijakan yang akan diperjuangkan.