Krisis Partai Politik: Adaptasi Setengah Hati

2016-05-02 14:42:54 GMT · oleh Ardian Maulana · politik

Tren evolusi penggunaan kata partai politik, masyarakat sipil, serikat buruh dalam Google N-gram.

Tren evolusi penggunaan kata partai politik, masyarakat sipil, serikat buruh dalam Google N-gram. Data ini menjadi proksi untuk melihat evolusi partai politik.Terlihat ada 3 fase penting: fase kelahiran-kenaikan (RISE) 1820-1920, fase dominasi (HEGEMONY) 1920-1980, fase menurun (DECLINE) 1980-sekarang.

Partai politik mulai gelisah dengan gejala krisis global partai politik. Seminar diadakan untuk membahas tren demokrasi representatif di masa depan. Para pakar diminta berbicara tentang media sosial dan kegunaannya dalam politik, juga karakteristik politik generasi Y dan Millenial yang semakin dominan dalam struktur demografi masyarakat.

Semua sepakat internet sebagai game-changer dalam politik. Solusinya? Tambahkanlah kata “online” dalam semua aktivitas politik konvensional: rekrutmen online, kampanye online dan lain sebagainya. Internet menjadi kata magis untuk merekatkan kembali publik dengan partai politik.

Hal tersebut merupakan respon yang positif namun tidak cukup mampu menanggulangi problem krisis partai politik. Persoalannya sederhana: jika seseorang tidak memiliki ketertarikan dan alasan yang cukup untuk terlibat dalam aktivitas politik, maka digitalisasi aktivitas partai politik tidak akan memiliki dampak yang signifikan.

Artikel “Krisis Partai Politik: Gejala Global“ menunjukan keanggotaan partai politik di Eropa pun telah menurun drastis. Rata-rata tinggal 5 % dari populasi pemilih. Dapat diartikan secara sederhana bahwa hanya sejumlah itu pula-lah yang akan terdampak oleh digitalisasi aktivitas politik.

Selebihnya adalah publik yang lebih peduli pada berbagai persoalan sehari-hari yang jauh dari “wilayah kerja” partai politik konvensional.

Rangking apa yang menjadi kekuatiran warga sehari-hari berdasarkan hasil survei 2015 di Inggris.

Rangking apa yang menjadi kekuatiran warga sehari-hari berdasarkan hasil survei 2015 di Inggris.

Kita perlu berdiri di ketinggian untuk mendapatkan horison yang luas guna memahami seberapa besar gelombang krisis yang ada di depan mata.

Revolusi informasi, yang dicurigai sebagai pemicu krisis politik saat ini, bukanlah hal baru. Ia hadir mengawali kelahiran partai politik di pertengahan abad ke 19. Juga menandai berakhirnya masa keemasan partai politik konvensional di dekade 1980-an.

Kita dapat membagi sejarah partai politik dalam 3 fase utama. Fase kelahiran dan kenaikan terjadi di dekade 1820-1920. Media cetak yang ditopang oleh teknologi kantor pos dan telegraf memungkinkan, untuk pertama kalinya, terjadinya sirkulasi informasi massal ke seluruh penjuru negeri. Informasi politik bukan lagi hak eksklusif para elit. Di masa ini, partai politik hadir sebagai satu-satunya institusi yang mampu memobilisasi aksi kolektif publik.

Krisis politik mengawali fase hegemoni partai politik 1920-1980an. Hadirnya teknologi broadcasting (radio disusul televisi di pertengahan abad ke 20) membuat sirkulasi informasi semakin cepat. Aspirasi publik pun makin beragam dan mendorong lahirnya berbagai macam organisasi berbasis kepentingan (interest group) di luar partai.

Partai merespon hal ini dengan membangun organisasi-organisasi sayap yang sesuai dengan grup sosial yang ada di masyarakat. Diantaranya organisasi buruh dan keagamaan yang menjadi penopang utama partai politik di Eropa. Strategi inilah yang membawa partai politik mencapai masa keemasannya. Tapi satu hal yang pasti, partai politik bukan lagi satu-satunya “pemain” di dunia politik.

Tabel karakteristik evolusi partai politik.

Tren teknologi informasi mengarah kepada situasi dimana akses informasi informasi semakin mudah dan murah. Aspirasi publik pun semakin spesifik dan beragam, membuat agenda-agenda politik besar dan jangka panjang (contoh: isu-isu ideologi) kehilangan relevansinya. Publik cenderung berkerumunan dalam komunitas-komunitas informal (ide, hobi, aktivitas) yang berada di luar “wilayah kerja” partai politik konvensional. Partai politik akhirnya semakin terpisah dari publik.

Gelombang revolusi informasi saat ini tidak akan menghilangkan partai politik. Demokrasi representatif tetap memerlukan partai sebagai mediator aspirasi. Imaji tentang Athena dan demokrasi langsung-nya justru tidak relevan di tengah tren aspirasi publik yang makin heterogen.

Hanya saja posisi partai politik sebagai mesin mobilisasi opini tidak lagi dominan di tengah beragamnya komunitas-komunitas aspirasi publik digital.

Partai politik harus memulai proses tranformasi radikal institusi kepartaian: mulai dari bangunan organisasi, pendanaan, program sampai bagaimana hubungan partai dengan publik dan institusi lain di luar partai. Adaptasi yang setengah hati hanya akan membuat partai politik semakin tersisih.


Ardian Maulana

Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute