Kegagalan Integrasi Kawasan dan Biaya Logistik Tinggi

2016-04-11 04:15:21 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

Peta pelabuhan, kawasan industri dan penduduk di Megapolitan Jakarta.

Peta pelabuhan, kawasan industri dan penduduk di Megapolitan Jakarta. Lingkaran biru adalah pelabuhan eksisting dan rencana pelabuhan. Lingkaran hijau adalah kawasan industri eksisting dan rencana kawasan industri. Semakin besar bulatan hijau maka semakin luas kawasan industri. Titik merah adalah sebaran penduduk.

Biaya logistik di Indonesia sangat tinggi, mencapai 24,64% dari pendapatan domestik bruto. Angka ini jauh di atas Malaysia (13%), Jepang (10,6%) dan Singapura (8%). Kondisi ini memperlemah daya saing Indonesia.

Setidaknya ada 5 faktor yang memicu tingginya biaya logistik. Ia mulai dari faktor geografis yang berbentuk kepulauan dengan bentangan yang sangat luas, kondisi prasarana atau infrastruktur transportasi yang buruk, kondisi sarana transportasi yang kurang memadai, lemahnya pelayanan transportasi serta kegagalan integrasi kawasan.

Faktor geografis merupakan latar belakang alamiah yang sulit untuk diintervensi. Akhirnya pemerintah fokus pada 3 aspek lain yaitu memperbaiki prasarana, sarana dan pelayanan transportasi, sebagaimana terlihat pada artikel “Problematika dalam Implementasi Tol Laut”.

Ratusan triliun rupiah digelontorkan untuk memperbaiki dan membangun pelabuhan, bandara, rel kereta api serta jaringan jalan tol dan non-tol. Sarana transportasi dikembangkan melalui sejumlah program pengadaan dan insentif pembelian kapal. Pelayanan transportasi coba diperbaiki dengan upaya menurunkan dwelling time di pelabuhan.

Namun sayangnya perbaikan yang ada belum menyentuh aspek integrasi kawasan. Padahal hal ini merupakan salah satu kunci untuk menurunkan biaya logistik.

Idealnya kawasan didesain sedemikian rupa untuk mengoptimasi biaya transportasi. Pelabuhan dibangun memanjang di tepi pantai. Lalu di belakangnya terdapat kawasan industri. Lalu di belakang kawasan industri terdapat area perumahan yang berbentuk melingkar dan mengelilingi area komersial.

Desain tata guna lahan yang optimum tersebut akan menekan biaya transportasi. Jarak dari pelabuhan ke kawasan industri menjadi sangat dekat. Lalu lintas barang dari pabrik ke pelabuhan tidak perlu melewati area perumahan dan area komersial. Kawasan industri dirancang atas kluster-kluster yang tersusun sedemikian rupa, sehingga biaya transportasi di dalam kawasan minimum. Jarak perumahan ke pabrik, kantor dan pertokoan juga tidak terlalu jauh. Pola pembangunan kawasan yang terintegrasi ini dapat terlihat di Singapura, Tianjin (Tiongkok), Port Klang (Malaysia), dan kota pelabuhan dan industri lainnya di dunia.

Perencanaan wilayah di Singapura tahun 2011.

Perencanaan wilayah di Singapura tahun 2011, sumber: Urban Redevelopment Authority, Singapore Goverment.

Desain kawasan di Indonesia sangat tidak optimum. Contoh nyata dapat terlihat di Megapolitan Jakarta. Mayoritas kawasan industri berada di wilayah Cikarang dan Karawang. Jaraknya ke Pelabuhan Tanjung Priok relatif jauh serta harus melewati area perumahan dan area komersial. Hal ini memicu kemacetan, yang kemudian semakin meningkatkan biaya logistik. Kluster antar kawasan industri juga tidak tertata dengan jelas, sehingga transportasi antar pabrik menjadi tidak efisien. Jarak perumahan ke pabrik dan kantor juga terlalu jauh.

Sumber dari kegagalan integrasi tersebut adalah ego sektoral. Pelindo II fokus untuk memperbesar pelabuhan Tanjung Priok dan menolak pembangunan pelabuhan alternatif. Kementerian Perindustrian menyerahkan pengembangan kawasan industri sepenuhnya ke pasar, yang membuat desain kawasan menjadi semakin tidak terintegrasi. Pemerintah Daerah saling bersaing untuk memperbesar perputaran uang di wilayahnya. Pertamina tidak ingin merelokasi jalur pipanya, sehingga wilayah pantai utara Bekasi dan Karawang yang potensial menjadi tidak dapat dikembangkan.

Perencanaan Pelabuhan Patimban, sebagai alternatif penganti rencana Pelabuhan Cilamaya yang dibatalkan, harus belajar dari kegagalan tersebut. Jika bergerak secara sektoral maka kita akan terjatuh kembali di lubang yang sama. Untuk itu para pemangku kepentingan harus berkumpul guna merumuskan desain kawasan yang terintegrasi di Patimban.


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute