Problematika dalam Implementasi Tol Laut

2016-03-28 06:48:23 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

Konsep tol laut dan data kunjungan pelabuhan di Indonesia.

Konsep tol laut dan data kunjungan pelabuhan di Indonesia. Garis ungu tebal adalah rute antar pelabuhan penghubung utama (hub). Garis ungu tipis adalah cakupan rute antara pelabuhan utama ke pelabuhan yang lebih kecil. Segitiga biru merepresentasikan data kunjungan di setiap pelabuhan. Semakin besar segitiga biru maka semakin banyak dan semakin besar kapal yang singgah di pelabuhan tersebut.

Presiden Jokowi beberapa kali mengutarakan visinya untuk mengurangi biaya transportasi. Disparitas harga antara wilayah Indonesia bagian barat dan timur terlalu tinggi. Untuk itu ia mengusulkan pengembangan sistem transportasi laut nasional, yang sering disebut “tol laut”.

Tol laut sejatinya diadaptasi dari konsep pendulum Nusantara yang digagas oleh BUMN Pelindo tahun 2012. Konsep ini diturunkan dari teori jaringan “spoke–hub”.

Ada beberapa pelabuhan yang menjadi hub atau pelabuhan penghubung utama, yaitu Pelabuhan Belawan (Sumatera Utara), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak(Surabaya), Makasar (Sulawesi Selatan) dan Sorong (Papua Barat). Kapal-kapal besar kemudian bergerak dari satu hub ke hub lain.

Gerakan kapal besar tersebut di peta (lihat gambar) menyerupai pendulum, sehingga kemudian disebut pendulum nusantara. Lalu kapal-kapal kecil menyalurkan barang dari hub ke pelabuhan sekitar yang berukuran lebih kecil (spoke).

Ada beberapa problem mendasar dalam implementasi tol laut.

Konsep “spoke–hub” sangat efektif ketika rasio jarak hub ke hub terhadap jarak hub ke spoke sangat besar. Contohnya ketika mengirim barang dari Jakarta ke Oslo (Norwegia), akan lebih murah melalui hub Singapura dan hub Rotterdam melalui kapal besar, dibandingkan langsung Jakarta ke Oslo melalui kapal kecil.

Namun ketika rasio jarak hub ke hub terhadap jarak hub ke spoke relatif kecil maka pendekatan “point-to-point” menjadi lebih efisien. Lebih murah menggunakan kapal ukuran menengah dari Surabaya langsung ke Merauke dibandingkan kapal besar dari Surabaya ke Makasar ke Sorong lalu dilanjutkan dengan kapal kecil ke Merauke.

Tingkat harga serta PDRB.

Tingkat harga (indek warna, semakin hijau semakin murah dan semakin merah semakin mahal) serta pendapatan domestik bruto atau PDRB (semakin besar lingkaran maka PDRB semakin besar) dari 82 kota di Indonesia.

Permasalahan selanjutnya, disparitas harga antar hub yang relatif kecil. Perbedaan tingkat harga antara Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar dan Sorong sangat kecil sehingga peluang arbitrase atau memperoleh keuntungan (melalui perdagangan) dari perbedaan harga antar pasar relatif kecil.

Apakah tidak lebih baik mengembangkan rute alternatif seperti Bitung (Sulawesi Utara) ke Sorong misalnya? Dispartias harga antara Bitung dan Sorong relatif tinggi. Selain itu jarak Bitung ke Sorong hanya setengah dari jarak Makasar ke Sorong.

Dari kajian di atas terlihat bahwa, dalam jangka pendek, desain rute transportasi yang ada harus di optimasi. Desain yang dirumuskan oleh Pelindo dan kemudian diadaptasi oleh pemerintah tersebut masih belum optimal.

Problem selanjutnya adalah skala ekonomi. Pada gambar terlihat bahwa skala ekonomi kota-kota di Indonesia timur, yang terefleksikan melalui nilai PDRB, relatif rendah. Kapal yang berukuran menengah saja jarang penuh. Lalu mengapa harus mendorong kapal berukuran 3.000 TEUs ke atas? Ini akan membebani keuangan Negara, untuk memberikan subsidi dalam jangka panjang.

Industri pelayaran bekerja dengan prinsip ship follow the trade bukan trade follow the ship. Jadi yang terbaik dalam jangka panjang adalah meningkatkan arus perdagangan. Sungguh tidak bijak jika kita hanya berpikir untuk menghubungkan Indonesia timur dengan kawasan industri di barat. Langkah yang lebih arif adalah mendorong pengembangan kawasan industri di Indonesia timur, seperti di Bitung (Sulawesi Utara) dan Teluk Bintuni (Papua Barat).

Tol laut tidak akan efisien dan berkelanjutan jika hanya dirumuskan secara parsial. Desain transportasi nasional harus memperhatikan aspek skala ekonomi, disparitas harga, potensi daerah dan arah pengembangan industri. Hal ini belum terlihat dalam implementasi tol laut yang telah berjalan sejauh ini.


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute