Menguji Ketangguhan Gerakan Maya “Anti-Jokowi”
2016-03-07 06:59:35 GMT · · politik
Hasil simulasi ketahanan jaringan Gerakan Anti-Jokowi terhadap serangan berdasarkan data percakapan partisipan gerakan di Twitter. Serangan dilakukan secara acak maupun terarah, baik terhadap pengguna yang menjadi sumber informasi, pengguna sebagai perantara informasi, dan pengguna yang memiliki pengaruh. Dampak terbesar dicapai oleh serangan terarah terhadap sumber informasi dan pengguna berpengaruh.
Gerakan protes politik bukan hanya soal jumlah partisipan, namun terkait juga dengan faktor pengorganisasian. Tanpa pengorganisasian yang baik, gerakan politik akan rentan terhadap gangguan, mulai dari rasa bosan dari partisipan hingga faktor represi penguasa.
Pada kesempatan ini kita coba mengkaji pengorganisasian publik maya di media sosial. Upaya pengorganisasian dibatasi oleh karakteristik natural media sosial yang sangat demokratis. Setiap aksi kolektif yang muncul di dunia maya menjadi seolah-olah tanpa bentuk dan kendali formal.
Artikel sebelumnya telah menunjukan adanya kelompok pengguna yang menjadi motor gerakan “Anti-Jokowi”. Pertanyaannya selanjutnya adalah, seberapa tangguh gerakan ini terhadap represi? Simulasi gangguan terhadap simulasi ketahanan jaringan Anti-Jokowi dapat memberikan jawaban.
A. Gerakan Anti-Jokowi tahan terhadap serangan acak (random attack), namun rapuh terhadap serangan terarah (targeted attack). §
Bayangkan respon rezim Hosni Mubarak ketika berhadapan dengan gerakan protes Revolusi 25 Januari tahun 2011 lalu di Mesir. Rezim yang berkuasa terbiasa dengan mode protes konvensional. Mereka gagap ketika berhadapan dengan gaya aktivis pro-demokrasi di era media sosial. Strategi represi konvensional gagal meruntuhkan organisasi protes yang berjejaring di dunia maya.
Strategi represi model ini dapat dikategorikan sebagai serangan acak. Hasil simulasi menunjukan, modus yang menyasar pengguna secara acak gagal meruntuhkan jaringan Anti-Jokowi. Walau berkali-kali diganggu, jaringan masih tetap berfungsi.
Hasilnya berbeda ketika modus serangan terarah dilakukan. Kerusakan paling besar terjadi ketika gangguan ditujukan kepada pengguna yang berperan sebagai sumber informasi dan pengguna yang memiliki pengaruh.
Pola kerusakan struktur jaringan Anti-Jokowi akibat serangan terarah pada pengguna yang menjadi sumber informasi.
Seperti terlihat di gambar, jejaring yang muncul secara organis memang rentan terhadap serangan terarah; karakteristik yang juga dipunyai jaringan internet, jalan, listrik, metabolisme tubuh hingga syaraf.
B. Terlalu berpusat pada segelintir orang membuat jaringan Anti-Jokowi lebih rapuh daripada jaringan gerakan 15-M di Spanyol. §
Gerakan 15-M atau gerakan kemarahan (indignants movement) di Spanyol merupakan aksi protes terhadap kebijakan penghematan dari pemerintah. Mereka menuntut perubahan fundamental dalam politik Spanyol. Gerakan ini dimulai 15 Mei 2011 dan berlangsung sporadis di 58 kota di Spanyol.
Meskipun berbeda secara jumlah dan kesuksesan gerakan, jaringan anti-Jokowi dan 15-M sama-sama memiliki kerentanan terhadap serangan terarah. Bedanya, 15-M lebih tangguh bertahan ketika serangan diarahkan pada pengguna yang menjadi perantara informasi.
Perbedaan ini terjadi karena tidak seperti 15-M, jaringan Anti-Jokowi terlalu terkonsentrasi di segelintir orang yang mengambil dua peran sekaligus: sumber sekaligus perantara informasi. Ketika kedua peran ini diganggu, keruntuhan jaringan terjadi secara dramatis.
Tipe Serangan | Anti-Jokowi | 15-M |
---|---|---|
serangan acak | 0,14 | 0,14 |
ke sumber informasi | 0,47 | 0,47 |
ke perantara informasi | 0,25 | 0,22 |
ke pengguna berpengaruh | 0,41 | 0,42 |
Perbandingan indeks kerapuhan jaringan gerakan Anti-Jokowi dan 15-M. Semakin tinggi nilai indeks (skala 0–0,5), semakin rentan jaringan tersebut terhadap kerusakan akibat serangan.
Keriuhan dunia media sosial adalah hal yang wajar. Kita tentu tidak berharap pemerintah memberikan respon konvensional seperti rezim Mubarak. Kita juga tidak mau pemerintah meniru Amerika Serikat yang memata-matai rakyatnya sendiri di dunia maya.
Pemerintah harus cerdas memahami kenyataan sosial bahwa dunia demokrasi telah memasuki era sosial media. Kerja nyata, keterbukaan informasi dan dialog adalah senjata untuk menghadapi protes. Media sosial adalah alat bagi siapapun untuk tujuan apapun. Faktor pembeda hanyalah kecerdasan dalam memanfaatkannya.
Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute