Efisiensi dan Efektivitas Sistem Distribusi Beras
2016-02-29 09:54:47 GMT · · ekonomi
Peta pasar utama, gudang Bulog, sebaran penduduk dan sebaran sawah di Jawa Barat.
Produksi padi mengikuti siklus hujan. Pada musim kemarau, sekitar bulan Juni-September, luas sawah yang ditanam turun hingga seperempat dari luas sawah yang ditanam saat musim hujan. Akibatnya produksi beras pada bulan November-Februari turun drastis dan harga menjadi cenderung melonjak.
Dinamika ini terkadang menjadi sangat politis. Setiap pergantian tahun media massa selalu ramai membahas kenaikan harga beras. Wacana yang ada biasanya mengerucut kepada dua hal. Yang pertama adalah pemerintah akan menuduh ada mafia atau spekulan beras yang memainkan harga. Namun anehnya, setelah bertahun-tahun berlalu tidak banyak mafia kelas kakap yang tertangkap. Yang kedua adalah wacana untuk melakukan impor beras. Siklus berita ini terjadi berulang-ulang setiap tahun. Tidak ada perubahan kualitas wacana dan tindakan yang berarti.
Tata niaga beras bukanlah persoalan mafia beras atau polemik impor semata. Ada banyak aspek-aspek lain yang juga perlu diperhatikan. Salah satu isu yang penting dikaji adalah efisiensi dan efektivitas sistem distribusi beras di Indonesia.
Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Badan Urusan Logistik (Bulog) memiliki kewenangan untuk pengelolaan persediaan, distribusi serta pengendalian harga beras. Bulog bertugas untuk membeli beras saat terjadi kelebihan beras di pasar. Ia kemudian menyalurkan beras saat terjadi kekurangan beras yang mendorong peningkatan harga di pasar.
Apakah sistem distribusi beras nasional tersebut sudah efektif dan efisien? Cukup sulit menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan pendekatan ekonomi konvensional. Pendekatan new economic geography yang didukung teknologi pemprosesan peta dalam 10 tahun terakhir mungkin dapat menjawab tantangan ini. Penulis coba mengelaborasi hal ini di Jawa Barat, sebagai provinsi penghasil beras terbanyak dan memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Dari pola sebaran spasial sawah, posisi gudang dan jaringan jalan dapat diketahui potensi penawaran di setiap gudang Bulog. Dari pola sebaran spasial penduduk, posisi pasar, posisi gudang dan jaringan jalan dapat diketahui potensi permintaan di setiap gudang.
Analisis potensi penawaran, potensi permintaan dan kapasitas gudang-gudang Bulog di Jawa Barat.
Ada gudang pengumpul, yang mengalami kelebihan penawaran (excess supply). Gudang-gudang ini umumnya berada di wilayah pedesaan. Ada juga gudang penyalur, yang mengalami kelebihan permintaan (excess demand). Mereka ini umumnya berada di wilayah perkotaan. Beras kemudian didistribusikan dari gudang pengumpul ke gudang penyalur melalui jaringan jalan utama yang dapat dilewati truk besar.
Fakta yang menarik adalah tidak terdapat proporsionalitas antara beban alamiah (nilai maksimum permintaan atau penawaran) dengan kapasitas gudang. Ada banyak gudang yang memiliki beban alamiah tinggi namun kapasitasnya tidak mendukung. Ada juga gudang yang berukuran besar namun memiliki beban alamiah yang relatif rendah. Desain distribusi logistik beras di Jawa Barat selama ini tampaknya kurang memperhatikan faktor sebaran spasial sawah, penduduk dan lokasi pasar.
Hal ini secara teoretis akan menimbulkan beberapa kerugian. Pertama, biaya penyimpanan dan distribusi beras menjadi lebih mahal. Kedua, ada banyak potensi beras yang tidak terserap. Ketiga, kapasitas Bulog dalam mengatasi gejolak harga di beberapa wilayah menjadi kurang efektif.
Dari kajian ini terlihat bahwa sistem distribusi beras kita masih belum efektif dan efisien. Jadi daripada sekedar berwacana mengenai “mafia” dan “polemik impor” mungkin lebih baik jika pemerintah juga fokus untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi beras di Indonesia.
Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute