Apakah Harga Premium Terlalu Mahal?

2016-02-15 12:44:37 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

Hasil perhitungan estimasi biaya proses bisnis premium.

Hasil perhitungan estimasi biaya proses bisnis premium dari tahun 2008-2015 (kanan) dan data yang digunakan (kiri), berturut-turut dari atas ke bawah: data harga minyak dunia, data nilai tukar USD/IDR, data konsumsi premium, data realisasi subsidi (kerugian) akibat penjualan premium dan data harga jual premium.

Pertamina menyatakan kerugian akibat penjualan premium. Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang, menyebutkan:

“Jadi rugi itu ada dua. Satu, opportunity losses, satunya lagi benar-benar losses. Kalau losses bener, itu hitungannya US$ 149 juta (Rp 2,7 triliun), itu premium aja (untuk tahun 2015). Kalau opportunity losses Rp 6,3 triliun”.

Peryataan ini cukup menarik untuk dikaji. Pada tahun 2015 harga minyak mentah rata-rata turun 47,8% dibandingkan dengan tahun 2014. Sementara itu rata-rata nilai tukar sepanjang tahun 2015 hanya melemah 13,6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kejanggalan ini semakin menguat setelah melihat fakta harga jual premium. Akhir 2014, harga premium dinaikan dan kemudian diturunkan sedikit. Sehingga sepanjang tahun 2015 rata-rata harga jual premium naik 8,5% dibandingkan dengan tahun 2014.

Harga bahan baku turun nyaris setengahnya, sementara itu harga jual naik. Lalu apakah wajar jika Pertamina masih merugi? Apakah proses bisnis yang ada di Pertamina sudah efisien?

Cara konvensional yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan melakukan audit. Pemerintah biasanya meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit. Namun sejauh ini tidak ditemukan kejanggalan. Pertamina berulang kali mendapatkan predikat “wajar tanpa perkecualian”.

Namun tampaknya publik masih belum puas dengan hasil tersebut. Sejumlah pihak di media sosial dan forum-forum di dunia maya ramai memperbincangkan dugaan inefisiensi Pertamina. Harga jual BBM Pertamina dirasa masih terlalu mahal. Banyak pihak ingin mengetahui efisiensi proses bisnis yang ada di Pertamina. Namun sayangnya, publik tidak memiliki akses ke data internal Pertamina.

Apakah ada cara alternatif, selain dengan melakukan audit, untuk dapat melihat efisien proses bisnis di Pertamina? Tantangannya adalah metode perhitungan tersebut harus mampu bekerja dengan baik, walaupun tidak mendapatkan akses ke data internal Pertamina!

Penulis coba menawarkan cara alternatif untuk mengukur efisiensi proses bisnis di Pertamina. Metode yang digunakan adalah dengan menganalisis data input/output dari proses bisnis Pertamina. Pada kesempatan ini, pembahasan dibatasi hanya pada kasus premium.

Ada 5 data yang digunakan, yaitu data harga minyak dunia, nilai tukar dollar terhadap rupiah, realisasi subsidi (kerugian) akibat bisnis premium, data harga jual premium dan data konsumsi premium. Dari data-data tersebut, kita dapat mengestimasi biaya proses bisnis premium, dengan menggunakan persamaan pendapatan dan pengeluaran. Biaya proses bisnis di sini meliputi seluruh biaya overhead dan biaya produksi selain biaya bahan baku.

Pada gambar di atas terlihat bahwa nilai estimasi biaya proses bisnis premium meningkat dari Rp. 1,606.95 perliter (tahun 2008) menjadi Rp. 3,203.19 perliter (tahun 2015). Atau dengan kata lain meningkat 2 kali lipat dalam 7 tahun terakhir. Atau rata-rata meningkat 13,01% pertahun.

Apakah kenaikan biaya 13,01% pertahun masih wajar atau sudah terlalu tinggi?

Jika seluruh komponen biaya dalam dollar, maka kita perlu mempertimbangkan laju depresiasi rupiah dan tingkat inflasi di luar negeri. Laju depresiasi rupiah terhadap US$ pada tahun 2008-2015 rata-rata 4,9% pertahun. Pada rentang tersebut inflasi di Amerika Serikat rata-rata 1,5% pertahun. Atau secara akumulatif terjadi dorongan peningkatan kenaikan biaya sebesar 6,4%.

Jika seluruh komponen biaya dalam rupiah, maka kita perlu mempertimbangkan tingkat inflasi domestik. Pada tahun 2008-2015 inflasi rata-rata di Indonesia sebesar 6,1% pertahun.

Dari fakta-fakta tersebut, penulis melihat kenaikan biaya proses bisnis premium 13,01% pertahun sepertinya terlalu besar. Ke depan, sebagai perusahaan yang mengemban harapan dan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan konstitusi, Pertamina mungkin perlu melakukan efisiensi secara lebih intensif.


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute