Empat Gelombang Kebangkitan Film Indonesia

2016-02-08 05:46:06 GMT · oleh Dadan Suhandana · hiburan

Data jumlah produksi film Indonesia

Data jumlah produksi film Indonesia tahun 1926-2015.

Sejarah perfilman tanah air telah mengalami beberapa kali pasang surut. Banyak hal yang menjadi penyebab dari pasang surut tersebut. Secara umum, perfilman Indonesia hingga saat ini dapat dibagi menjadi 4 era kebangkitan.

Film “Loetoeng Kasaroeng” tahun 1926 dianggap sebagai film bisu pertama yang hadir di Hindia Belanda, yang kelak menjadi Indonesia. Walaupun film ini dibuat oleh G. Kruger dan L. Heuveldrop, warga negara Belanda, ia dianggap sebagai film pertama di Indonesia karena menggunakan cerita asli Indonesia.

Film tersebut memulai gelombang pertama dalam sejarah film Indonesia, yaitu “era kolonial”. Periode yang berlangsung tahun 1926-1941 ini melahirkan 92 film Indonesia. Sebagian besar mengambil tema cerita rakyat atau dongeng kedaerahan.

Kehadiran Jepang di tanah air menjadi faktor terbesar meredupnya perfilman Indonesia. Di tahun 1942, perfilman Indonesia anjlok hingga hanya menghasilkan 4 film saja. Bahkan di rentang tahun 1945 hingga 1947 tak ada satupun film Indonesia yang dihasilkan.

Pasca periode perjuangan kemerdekaan, film Indonesia memasuki kebangkitan kedua. Saat itu muncul kesadaran kuat bahwa film tidak hanya berorientasi keuntungan tetapi juga alat untuk mengkampanyekan nilai-nilai budaya dan politik. Pertarungan ideologi politik saat itu menular ke dalam perfilman Indonesia. Periode yang berlangsung tahun 1950-1967 ini disebut “era ideologi”.

Pada era ini rata-rata setiap tahun dihasilkan 30 film. Walaupun jika dibandingkan dengan jumlah film impor yang masuk, persentase film Indonesia relatif kecil, namun pencapaian yang ada cukup mengembirakan. Pada masa itu lahir sineas-sineas yang berkualitas, berdiri CDI (Cine Drama Institute), berkembang organisasi-organisasi perfilman, dan lahir penganugerahan film Indonesia.

Transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru mempengaruhi kondisi perfilman Indonesa. Pengaturan organisasi perfilman, sensor dan regulasi film impor sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas film Indonesia. Untuk dapat mengimpor film, importir harus menyetor dana pembuatan film nasional atau menjadi produser film nasional.

Pada “era proteksi” tersebut dihasilkan 1661 buah film atau rata-rata 72 film pertahun. Pada rentang 1970-1992 tema film yang hadir sangat variatif, mulai dari genre drama, komedi, legenda dan horor. Penghargaan film, sebagai bentuk apresiasi terhadap film, mulai rutin digelar setiap tahun.

Namun perubahan jaman kembali terjadi. Pemerintah membuka lebar akses keran film impor ke bioskop-bioskop tanah air. Tumbuhnya sejumlah stasiun televisi swasta yang menyajikan hiburan murah. Jumlah produksi film Indonesia menurun drastis pasca tahun 1992 dan banyak diwarnai tema berbau vulgar dan erotis.

Kesuksesan film “Ada Apa Dengan Cinta” di tahun 2001 kembali membuka harapan baru dalam perfilman Indonesia di “era digital”. Era ini lahir saat perkembangan teknologi digital memudahkan sebuah generasi, baik yang berasal dari akademisi maupun tidak, untuk mengakses informasi lebih luas lagi dengan kehadiran perangkat komputasi. Semakin mudah dan murahnya mengakses alat untuk memproduksi film.

Kemudahan dalam mengakses teknologi film di era digital mendorong produksi film yang lebih beragam dan berkualitas. Pada rentang 2002-2014 rata-rata dihasilkan 69 buah film pertahun.

Di satu sisi akses ke teknologi film semakin murah dan mudah, namun di sisi lain peta persaingan distribusi film semakin rumit. Penonton tidak hanya dapat mengakses film di bioskop dan televisi tetapi juga bisa dari gadget komunikasi yang terhubung ke intenet, mulai dari komputer, telepon genggam, dan lain sebagainya.

Teori evolusi dapat menjelaskan dengan baik, namun ia tidak bisa memberikan prediksi masa depan. Demikian juga dalam melihat evolusi perfilman Indonesia. Kita tidak pernah tahu apakah era digital akan terus menerbangkan perfilman Indonesia atau kembali meredup seperti sebelumnya.


Dadan Suhandana

Dadan Suhandana
Analis Media
BFI Technologies