Kisah Bandara di Barat Pulau Jawa
2016-02-03 01:20:20 GMT · · ekonomi
Peta sebaran populasi penduduk serta lokasi bandara eksisting dan lokasi rencana pembangunan bandara di bagian barat Pulau Jawa.
Transportasi udara memiliki peranan vital bagi pergerakan manusia antar wilayah di Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Beberapa tahun terakhir jumlah pengguna transportasi udara meningkat pesat. Namun sayangnya hal ini tidak diimbangi kesiapan infrastruktur.
Masalah ini juga terjadi wilayah terpadat di Indonesia, yaitu sisi barat Pulau Jawa. Tiga bandara umum di wilayah ini, yaitu Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusuma dan Husein Sastranegara, memiliki total kapasitas 26,75 juta penumpang pertahun. Jika dikomparasi ke luar negeri, angka ini relatif kecil. Wilayah dengan profil geografi, demografi dan ekonomi yang relatif sama umumnya memiliki kapasitas 2-4 kali lipat.
Kapasitas bandara tidak berubah signifikan dalam 15 tahun terakhir. Sementara itu, jumlah penumpang meningkat pesat dari 10 juta (tahun 2000) menjadi 56 juta (pada 2013). Bandara terasa sesak dan tidak nyaman. Maskapai penerbangan kesulitan menambah rute baru. Konektivitas antar pusat dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi terhambat.
Solusi yang ditempuh saat ini adalah optimalisasi Bandara, melalui pembangunan terminal dan prasarana penunjang landasan pacu. Namun ini hanya cukup untuk jangka pendek. Tahun 2016-2018 diperkirakan jumlah penumpang akan kembali melewati kapasitas bandara. Bisa dibayangkan, selanjutnya, optimalisasi akan sulit dilakukan karena keterbatasan lahan.
Pembangunan bandara baru menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Data “Newsmedia Processing Suite” menunjukkan ada 5 rencana bandara yang diwacanakan. Pemprov Banten mengusulkan Bandara Pandeglang untuk menunjang kawasan pariwisata Tanjung Lesung. Pemprov Jabar mengusulkan Bandara Kertajati untuk mendorong kawasan timur Jawa Barat.
Tiga proposal lain menawarkan konsep bandara raksasa, dengan 4 landasan pacu, untuk mendukung Megapolitan Jakarta. Kementerian Perhubungan mengusulkan wilayah hutan Karawang Selatan dan pantai Utara Karawang. Grup Lion Air mengusulkan di Lebak. Lalu lokasi mana yang terbaik dari ketiga opsi tersebut?
Ada 2 faktor yang menarik penumpang ke bandara. Yang pertama adalah jarak, karena penumpang cenderung memilih bandara yang lebih dekat. Faktor kedua adalah kapasitas bandara, karena penumpang cenderung memilih bandara yang lebih besar, dimana tersedia lebih banyak pilihan rute penerbangan. Hubungan penumpang dan bandara ini mirip dengan problem gravitasi di fisika, dimana gaya tarik dipengaruhi jarak dan massa benda. Tentu saja model gravitasi tidak perlu diadaptasi langsung, tetapi di-adaptasi berdasarkan pola historis penumpang dan bandara.
Hasil perhitungan menujukkan Karawang Selatan menjadi pilihan terbaik. Ia menghasilkan nilai jarak rata-rata penduduk ke bandara yang paling minimum. Namun perlu diingat, perhitungan tersebut hanya mempertimbangkan sebaran penduduk secara spasial. Ada banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti biaya, luas hutan dan areal pertanian yang tergusur, tingkat kesulitan akuisisi lahan, dukungan politik pemerintah daerah dan panjang horizon perencanaan.
Untuk permintaan penumpang tahun 2020-2030, pembangunan 1 bandara raksasa baru sudah mencukupi. Namun untuk horizon perencanaan tahun 2030-2040 solusi 2 bandara raksasa layak dipertimbangkan. Lahan untuk 2 bandara, di sisi barat dan timur Megapolitan Jakarta, disiapkan bersamaan. Pembangunan terminal dan landasan pacu kemudian dilakukan bertahap berdasarkan pertumbuhan penumpang.
Ada banyak opsi yang lebih efisien jika kita bersiap lebih awal. Solusi tambal sulam, seperti selama ini, akan lebih mahal dan dapat menghambat aktivitas ekonomi. Semoga infrastruktur dapat menjadi pendorong, bukan penghambat, perkembangan ekonomi ke depan.
Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute