Kekeliruan Memaknai Efek Bonus Demografi
2015-10-15 10:36:02 GMT · · ekonomi
Data penduduk usia produktif (atas) dan pertumbuhan ekonomi (bawah) Indonesia dan Jepang
Frase “bonus demografi” mulai popular digunakan semenjak pertengahan tahun 2013, setelah BKKBN menerbitkan “Profil Kependudukan 2013”. Tak lama setelah itu Bappenas dan BPS menerbitkan “Proyeksi Penduduk 2010-2035”.
Kedua publikasi tersebut memproyeksikan rasio penduduk usia produktif (15-65 tahun) akan terus meningkat, hingga mencapai puncaknya pada tahun 2020-2030. Setelah melewati periode ini rasio penduduk usia produktif diperkirakan akan turun kembali.
Hasil proyeksi ini kemudian dikaitkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dalam berbagai kesempatan mengatakan “bonus demografi, di periode puncak 2020-2030, dapat memicu pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi”.
Akhir-akhir ini para pejabat negara, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, birokrat hingga para wakil rakyat sangat sering mengutip klaim tersebut. Tujuannya tentu saja tidak hanya untuk mengobarkan optimisme, tetapi juga memberikan citra positif. Pemahaman tersebut kemudian menginduksi publik, mulai dari pengusaha, ekonom, guru, mahasiswa, wartawan hingga ke masyarakat awam.
Apakah bonus demografi di periode puncaknya dapat memicu pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Kita perlu menguji klaim tersebut dengan menggunakan data empiris. Jika klaim tersebut benar maka rasio penduduk usia produktif akan berhubungan langsung dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari proses perhitungan disimpulkan bahwa klaim tersebut tidak terkonfirmasi secara empiris.
Dari tahun 1970 hingga 2014, rasio penduduk usia produktif terus meningkat. Namun sebaliknya, pertumbuhan ekonomi justru menunjukkan tren penurunan.
Mengapa klaim tersebut dapat bertolak belakang dengan data empiris?
Dari hasil investigasi yang dilakukan tampaknya pemerintah keliru dalam menginterpretasikan teori yang digunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak berhubungan langsung dengan “rasio penduduk usia produktif” tetapi berhubungan dengan “laju peningkatan rasio penduduk usia produktif”. Ia merepresentasikan kemiringan atau gradien dari rasio penduduk usia produktif.
Laju peningkatan rasio penduduk usia produktif tertinggi dalam sejarah Indonesia terjadi pada periode 1970-2000. Rata-rata rasio penduduk usia produktif bertambah 0,384% per tahun. Di saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi juga sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi 8-10% sangat sering terjadi.
Antara tahun 2000-2015 laju peningkatan rasio penduduk usia produktif semakin melambat, hanya 0,137% per tahun. Pertumbuhan ekonomi juga melambat menjadi rata-rata 5,3% per tahun. Kita bahkan kesulitan untuk menembus angka 6,5%.
Pada periode 2015-2030 diperkirakan laju peningkatan rasio penduduk usia produktif akan semakin melambat, menjadi 0,084% per tahun. Kontribusi efek transisi demografi terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan semakin kecil.
Pola ini juga ditemukan di sejumlah Negara, seperti di Jepang. Pertumbuhan ekonomi tertinggi di Jepang juga bukan terjadi di puncak (1970-1995), tetapi terjadi saat kemiringan maksimum (1960-1970).
Efek maksimum bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi bukan terjadi ketika periode puncak maksimum tetapi terjadi pada periode kemiringan maksimum. Efek maksimum tersebut sudah terjadi di masa lalu, dan diperkirakan sulit untuk berulang kembali. Ke depan kita harus mencari motor pertumbuhan baru selain faktor transisi demografi.
Semoga kesalahan interpretasi atas perhitungan strategis yang sangat menyedihkan seperti ini tidak terjadi lagi. Untuk itu, pemerintah harus memperbaiki proses perumusan kebijakan yang dilakukan. Tidak hanya sibuk dalam retorika dan citra jangka pendek yang dapat menyesatkan.
Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute