Kesalahan Strategi Antisipasi Inflasi Ramadhan?

2016-06-13 07:44:26 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

Pohon ultrametrik komoditas pangan di Indonesia.

Pohon ultrametrik komoditas pangan di Indonesia serta tingkat kenaikan harga beberapa komoditas strategis dari tanggal 16 Mei 2016 hingga 9 Juni 2016.

Potensi inflasi yang terjadi pada periode Juni-Agustus tahun ini perlu menjadi perhatian tersendiri. Ada ancaman superposisi inflasi di periode ini (sebagaimana telah dibahas di artikel sebelumnya), akibat peristiwa puasa dan lebaran, liburan pertengahan tahun, gaji ke-13 dan ke-14 kepada PNS, serta tekanan dari peningkatan harga minyak di pasar internasional, yang terjadi secara simultan.

Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah antisipasi. 3 BUMN ditugaskan untuk mengimpor 2.500 ton bawang merah dari luar negeri. Presiden Jokowi menginstruksikan agar harga daging sapi ditekan hingga di bawah 80 ribu rupiah perkilogram. Lalu apakah strategi ini efektif?

Hal ini perlu dilihat secara komprehensif. Tidak cukup hanya melihat nilai kenaikan harga komoditas, tetapi juga perlu melihat bagaimana pengaruh kenaikan harga suatu komoditas terhadap harga komoditas lain. Relasi antar harga komoditas tersebut dapat dikaji dengan menggunakan metode pohon ultrametrik, yang berkembang di kajian fisika polimer.

#KomoditasKenaikan Harga
1telur ayam8.17%
2daging ayam ras7.00%
3cabe merah6.10%
4kacang tanah3.91%
5gula pasir3.89%
6daging sapi2.47%
7minyak goreng1.33%
8kedelai1.30%
9beras-0.46%
10bawang merah-10.49%

Kenaikan harga beberapa komoditas strategis dari tanggal 16 Mei 2016 hingga 9 Juni 2016.
Sumber: Kementrian Perdagangan.

Kebijakan pemerintah untuk fokus menangani harga daging sapi dan bawang merah berjalan efektif secara parsial. Kenaikan harga daging sapi hanya 2.47%, jauh lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Pasca kebijakan impor, harga bawang merah turun 10.49%. Namun sayangnya mungkin karena terlalu fokus di daging dang bawang, beberapa komoditas strategis lainnya mengalami kenaikan harga yang sangat tinggi, seperti telur ayam (8.17%), daging ayam ras (7.00%), cabe merah (6.10%) serta kacang tanah (3.91%).

Strategi ini sepertinya kurang begitu tepat. Sebagaimana terlihat di gambar pohon ultarametrik, daging sapi dan bawang merah bukanlah jangkar harga komoditas pangan di Indonesia. Pengaruh kenaikan harga daging sapi dan bawang merah ke komoditas lain relatif kecil. Selain itu kontribusi daging sapi terhadap konsumsi protein hewani nasional juga relatif kecil, hanya 2.07%.

Komoditas yang luput dari perhatian, seperti telur dan daging ayam ras justru memiliki posisi yang lebih strategis. 21.18% sumber protein hewani penduduk Indonesia berasal dari daging ayam dan 13.51% lagi berasal dari telur ayam.

Selain itu posisi daging ayam, telur ayam dan kacang tanah sangat strategis di pohon ultrametrik. Mereka mengapit “sabuk maritim” atau komoditas-komoditas jangkar dari sektor perikanan, seperti ikan tenggiri, ikan tongkol, udang laut, ikan mujair, ikan ekor kuning, ikan asap, ikan kembung dan lain sebagainya.

Kenaikan harga daging ayam, telur ayam dan kacang tanah berpotensi mendorong kenaikan harga komoditas-komoditas perikanan strategis. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat 57.33% sumber protein hewani penduduk Indonesia berasal dari sektor perikanan. Dari catatan Newsmedia Processing Suite (NPS) Bandung Fe Institute terlihat mulai terjadi kenaikan harga komoditas perikanan yang cukup signifikan.

Isu harga daging sapi mungkin sangat populer di media. Namun hendaknya strategi penanganan inflasi tidak boleh terpaku kepada aspek populer semata. Pemerintah harus menata ulang strategi penanganan inflasi yang ada agar kenaikan harga di periode kritis ini tetap terkendali dan tidak mengancam stabilitas makro ekonomi secara keseluruhan.


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute