Hambatan Infrastruktur dan Desentralisasi Transportasi Udara

2016-03-21 06:07:51 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

Data jumlah penumpang penerbangan domestik.

Data jumlah penumpang penerbangan domestik di Indonesia tahun 2014. Semakin tebal garis maka makin banyak jumlah penumpang dari satu bandara ke bandara lain. Tebal garis direskala secara logaritmik.

Pada tahun 2008-2012, Industri penerbangan tanah air memasuki fase pertumbuhan yang sangat eksplosif. Penumpang penerbangan domestik tumbuh 18,25% pertahun, dari 36,14 juta penumpang di tahun 2008 menjadi 70,68 juta penumpang di tahun 2012. Kondisi yang berbeda terjadi pada tahun 2013-2014. Pertumbuhan penumpang penerbangan domestik hanya mencapai 0,71% pertahun.

Secara makro ekonomi tidak ada anomali yang signifikan pada periode tersebut. Pertumbuhan ekonomi memang mengalami perlambatan, namun masih relatif baik yaitu pada rentang 5,5-6,5%. Lalu mengapa dapat terjadi penurunan pertumbuhan penumpang domestik yang sangat signifikan?

Dari analisis lebih lanjut diketahui bahwa penyebab utama terjadi di Bandara Soekarno-Hatta (CGK), sebagai hub utama industri penerbangan tanah air. Jumlah penumpang di CGK telah mencapai titik jenuh di angka 57-59 juta penumpang pertahun. Angka ini jauh melewati kapasitas teknis bandara yang hanya dirancang untuk 22 juta penumpang pertahun.

Hambatan infrastruktur tersebut menyebabkan terjadinya shortage atau kelebihan permintaan. Dari perhitungan model proyeksi logistik dengan memasukkan faktor pertumbuhan ekonomi nasional, penulis memperkirakan pada tahun 2015 potensi penumpang di CGK akan mencapai 72,7 juta penumpang. Ada sekitar 14,7 juta potensi penumpang yang tidak terserap. Mereka beralih ke bandara lain, berganti moda transportasi atau bahkan membatalkan perjalanan.

Hasil kalkulasi.

Gambar di sebelah kiri adalah data jumlah penumpang CGK dan hasil proyeksi model logistik. Gambar di sebelah kanan adalah impak faktor CGK terhadap penerbangan domestik di tanah air.

Namun ada hikmah di balik berita buruk tersebut. Impak faktor CGK terhadap penerbangan domestik di tanah air berkurang dari 32,89% di tahun 2008 menjadi 27,96% di tahun 2014. Mulai terjadi desentralisasi transportasi udara yang sangat signifikan. Banyak bandara di daerah yang berkembang menjadi hub baru yang signifikan, seperti Kualanamu, Batam, Balikpapan, Makasar, Manado, Surabaya, Denpasar dan Sorong. Topologi jaringan penerbangan berevolusi dari “spoke–hub” mulai menjadi “point-to-point”.

Pada topologi “spoke–hub” ada sedikit bandara yang menjadi hub utama. Penerbangan antar wilayah mayoritas harus dilakukan melalui hub utama tersebut. Misalnya dulu, ketika ingin pergi dari Denpasar ke Palembang, kita harus transit terlebih dahulu di CGK. Pada topologi “point-to-point” semakin banyak penerbangan antar wilayah yang dapat dilakukan langsung tanpa melalui hub utama, karena ada banyak bandara yang telah berkembang menjadi hub.

Biaya transportasi dalam topologi “point-to-point” lebih efisien daripada topologi “spoke–hub”. Namun topologi “point-to-point” baru dapat terealisasi setelah melewati skala ekonomi tertentu. Perkembangan ekonomi pada fase awal cenderung bersifat “spoke–hub”, baru kemudian berevolusi menjadi “point-to-point”.

Desentralisasi berdampak baik, setidaknya dari sisi biaya transportasi. Namun pola-pola desentralisasi serupa ini menunjukkan ketiadaan perspektif jangka panjang dalam pembangunan sesuatu hal yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak. Dalam perspektif ekonomi, ia bukan merupakan desentralisasi yang terjadi akibat demand pull, tetapi akibat overcapacity pada hub utama.

Dari data yang ada terlihat bahwa revitalisasi CGK atau pembangunan bandara baru di sisi timur Jakarta tampaknya seolah terlambat dilakukan. Jika pola-pola pembangunan serupa ini terus saja dibiarkan, hambatan infrastruktur akan menghambat bertumbuhnya ekonomi nasional dan ekonomi berkembang secara tambal sulam. Suatu buah dari kelalaian kebijakan?


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute