(Gerakan) “Anti Jokowi” di Media Sosial

2016-02-24 02:48:52 GMT · oleh Ardian Maulana · politik

Peta jejaring percakapam dalam hashtag #366daysJokowiJKfails.

Peta jejaring percakapam dalam hashtag #366daysJokowiJKfails. Mayoritas spam user berada di luar jejaring utama karena perilakunya yang cenderung monolog atau hanya berdialog dengan sesama spam user.

Beberapa waktu lalu sejumlah hashtag “anti jokowi”, menjadi trending topic di Twitter. Ada pihak yang bangga menyebutnya sebagai demonstrasi “jempol rakyat”, ada juga yang cemas mengkhawatirkan dampaknya.

Sebelum kita berspekulasi terlalu jauh, kita perlu melihat lebih dahulu sejumlah informasi berikut yang diekstrak dari data percakapan dalam hashtag-hashtag tersebut.

A. Trending topic memotret lonjakan tiba-tiba (sudden jump) kuantitas percakapan, kata atau hashtag tertentu.

Trending topic memberikan informasi realtime topik percakapan yang sedang ramai di twitter. Namun tidak tepat diinterpretasikan dalam konteks jumlah twit maupun pengguna yang memperbincangkan topik tersebut.

Ilustrasi suddent jump dalam trending topic.

Ilustrasi suddent jump dalam trending topic.

Dalam beberapa kasus, kuantitas percakapan yang besar dan stabil tidak akan teridentifikasi sebagai trending topic. Hal ini karena algoritma trending topic bekerja mengidentifikasi lonjakan tiba-tiba jumlah percakapan, dari tidak ada menjadi ada atau dari jumlah tertentu menjadi jauh lebih besar dalam waktu singkat.

B. Rata-rata 32% pengguna yang terlibat adalah spam user.

Attention seeking troll adalah salah satu tipe spam yang memanipulasi trending topic. Modusnya dengan menyisipkan hashtag yang akan atau sedang populer dalam twit meskipun hal tersebut tidak relevan. Akibatnya hashtag akan makin populer tapi berisi informasi yang tidak relevan dengan tujuan hashtag tersebut.

Kita menggunakan algoritma pendeteksi spam untuk memisahkan legitimate tweet dan spam tweet. Gambar berikut menunjukan proporsi spam di setiap hashtag. Rata-rata 32% spam user terlibat mengotori trending topic “anti jokowi”.

Proporsi spam user dan legitimate user

Proporsi spam user dan legitimate user serta kicauan yang diproduksi.

Posisi spam user (warna merah) dalam peta jaringan percakapan. Mayoritas spam user berada di luar jejaring utama karena perilakunya yang cenderung monolog atau hanya bercakap dengan sesama spam user.

C. Sekitar 20% pengguna non-spam user terlibat dalam 2 atau lebih hashtag “anti Jokowi”.

Akumulasi akun dan kemunculan pengguna baru.

Akumulasi akun dan kemunculan pengguna baru.

Sulit membantah bahwa hashtag “anti jokowi” dipopulerkan oleh sekelompok pengguna yang sama. Ada keterkaitan data percakapan antar hashtag. Evaluasi seluruh pengguna non spam user menunjukan sekitar 20% pengguna terlibat dalam dua atau lebih hashtag. Pada gambar di atas terlihat tren kemunculan pengguna baru. Pengguna yang tidak terlibat di hashtag sebelumnya terus menurun. Sebaliknya akumulasi pengguna total tumbuh semakin landai.

D. Ada 8 dari 10 aktor penting dalam percakapan “anti Jokowi” merupakan akun anonim.

Tren hashtag “anti jokowi” terkait erat dengan polarisasi pengguna media sosial selama pemilu lalu, seperti ditulis di artikel sebelumnya. Komunitas-komunitas online produk pemilu 2014 tetap bertahan hingga hari ini dan menjadi echo chamber yang mengabadikan sentimen “anti Jokowi”.

Namun sangat disayangkan ketika ditemukan bahwa posisi opinion leader di internal komunitas tersebut didominasi oleh akun-akun anonim. Konsekuensinya bukan saja pada kredibilitas informasi yang disebarkan tapi juga mengecilnya peluang demonstrasi maya ini mewujud menjadi gerakan protes di dunia nyata. Tabel di bawah ini menunjukan 10 besar rangking pengguna berdasarkan perannya sebagai sumber informasi, perantara informasi dan pengaruhnya.

Tabel aktor penting.

Perilaku politik “subversif” di media sosial menjadi fenomena umum saat ini. Strategi penanganan konvensional seperti sensor, pembatasan kebebasan ekspresi hingga implementasi aturan hate speech di dunia maya dapat menjadi bumerang bagi rezim yang sedang berkuasa. Publik yang makin dewasa juga pemerintah yang cerdas memahami kehidupan demokrasi di era media sosial adalah syarat utama untuk menangani hal tersebut.


Ardian Maulana

Ardian Maulana
Departemen Sosiologi Komputasional
Bandung Fe Institute