Transmisi Harga Komoditas dan Kejatuhan Rupiah

2015-10-08 01:13:25 GMT · oleh Rolan M. Dahlan · ekonomi

20151008-rolan-komoditas.jpg

Pohon ultrametrik harga komoditas-komoditas ekspor dan impor utama Indonesia, Januari 1985-Agustus 2015

Sehelai daun yang jatuh di salah satu sisi dari sebuah kolam yang tenang akan menimbulkan riak ke sisi pinggir kolam yang lain. Ada energi yang merambat melalui molekul-molekul air. Demikian juga di dalam pasar global modern. Dinamika harga sebuah komoditas akan mempengaruhi pergerakan harga komoditas lainnya. Kita dapat menggunakan metode fisika ultrametrik untuk mengkaji pola penjalaran tersebut.

Analisis berikut dilakukan pada data harga komoditas-komoditas ekspor dan impor utama Indonesia, dari Januari 1985 hingga Agustus 2015. Secara umum, harga komoditas cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Pola penurunan harga komoditas dapat dibagi menjadi dua fase yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Fase Pertama §

Fase pertama terjadi pada tahun 2011-2014. Penurunan harga dimulai awal tahun 2011 hingga awal 2014 yang dipicu oleh penurunan harga komoditas yang lebih periferal, yaitu: karet, kopra, kopi, kapas, batu-bara, nikel dan aluminium.

Dari sini, penurunan harga menjalar ke komoditas-komoditas yang lebih sentral seperti: sawit, kedelai, gandum, gula, kayu lapis, kayu bulat, biji besi, timah, tembaga dan gas. Namun penurunan harga komoditas tidak diikuti oleh minyak bumi sebagai jangkar komoditas ekstraktif. Minyak bumi tetap stabil pada rentang USD 80-120 per barrel. Padahal, mayoritas komoditas yang mengalami penurunan harga tadi adalah komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Kondisi ini menekan neraca perdagangan Indonesia. Jika sebelumnya kita menikmati surplus yang sangat besar, yaitu USD 26,061 milyar pada tahun 2011, pada tahun 2012-2014 Indonesia mengalami defisit perdagangan terbesar sepanjang sejarah.

Terjadilah pelemahan nilai tukar dari 8.500 menjadi 12.000. Dampaknya terasa di pertumbuhan ekonomi yang mulai mengalami perlambatan dari tahun 2011.

Fase Kedua §

Fase kedua terjadi dalam setahun terakhir, yaitu dari pertengahan tahun 2014 hingga pertengahan 2015.

Penurunan ini dipicu oleh komoditas-komoditas sentral yang mayoritas mengalami penurunan harga lebih dari 30% dalam setahun terakhir, yaitu: minyak (-50%), bijih besi (-46%), nikel (-40%), timah (-33%), gas (-51%), gula (-37%) dan gandum (-30%). Dari sini penurunan harga menjalar ke komoditas-komoditas yang lebih periferal, dengan magnitudo yang lebih kecil. Analisis ultrametrik menunjukkan bahwa, secara umum, semakin sentral komoditas maka semakin besar nilai penurunan harganya.

Gejolak tersebut menyebabkan turunnya nilai ekspor dan impor Indonesia secara signifikan. Walaupun neraca perdaganan mulai surplus akibat penurunan harga minyak bumi yang merupakan komoditas impor terbesar, dampaknya tidak cukup untuk mendorong kenaikan nilai tukar.

Turunnya harga komoditas secara signifikan mengurangi daya beli. Pertumbuhan ekonomi tertekan hingga kurang dari 5%. Kondisi ini menjadi salah satu faktor utama yang memicu perlemahan rupiah dalam setahun terakhir.

Pergerakan harga komoditas sangat berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Dampaknya tidak kalah signifikan dibandingkan dengan faktor suku bunga ‘the Fed’ yang selama ini menjadi fokus perhatian para pengamat.

Setidaknya, ada dua komoditas kunci yang harus diperhatikan secara seksama, yaitu pergerakan harga minyak bumi sebagai jangkar komoditas ekstraktif, dan dinamika harga gula sebagai jangkar komoditas agrikultur.


Rolan M Dahlanr

Rolan M. Dahlan
Departemen Ekonomi Evolusioner
Bandung Fe Institute